tag:blogger.com,1999:blog-4267602594032571052024-03-13T18:34:35.702+07:00Padang SunnahBekal Sang Musafir Menuju Kampung AbadiNovi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.comBlogger16125tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-58669908109029175032012-11-21T11:19:00.004+07:002022-02-20T11:16:40.200+07:00Info: Update Lebih Banyak Artikel <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
PEMBERITAHUAN:<br />
<br />
Assalaamu'alaikum...<br />
<br />
Pengunjung PADANGSUNNAH <i>rahimakumullahu </i>untuk mendapatkan artikel yang lebih banyak,<i></i>silahkan berkunjung ke blog saya<br />
<div style="text-align: center;">
<br />
<span style="color: red; font-size: large;">https://effendinovi.blogspot.com/</span></div>
<div style="text-align: center;">
atau klik<br />
<b style="color: red; font-size: x-large;"><blink><a href="https://effendinovi.blogspot.com/">"NOVI EFFENDI BLOG"</a></blink></b><br />
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<b><span style="color: #274e13;">Menguak Ilmu, Amal dan Dakwah Generasi Salaf Terbaik Dalam Menegakkan Sunnah</span></b></div>
<br />
<br />
Syukron, jazakumullahu khairan</div>
Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-44236105727626158482011-08-18T12:27:00.000+07:002011-08-18T12:27:51.144+07:00Ringkasan Hukum Permasalahan Sujud Sahwi Sesuai Sunnah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-Z2sMTtNHUac/Tkyiez5yNHI/AAAAAAAAArA/TNgrda9SbtU/s1600/bukit-tinggi1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://2.bp.blogspot.com/-Z2sMTtNHUac/Tkyiez5yNHI/AAAAAAAAArA/TNgrda9SbtU/s200/bukit-tinggi1.jpg" width="200" /></a></div><i>Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.</i><br />
<br />
Berikut penjelasan dari Syaikh Al Utsaimin Rahimahullah tentang berbagai permasalahan, kondisi dan tempat sujud sahwinya<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="color: red;"><b>A. Permasalahan dan kondisi yang menyebabkan sujud sahwi dilakukan <u>setelah salam</u></b></div><br />
<b>1.</b> Salam sebelum berakhirnya sholat : Jika ia mengucapkan salam padahal sholatnya belum selesai dalam keadaan lupa:<br />
<ul><li>Jika dia baru ingat setelah selang waktu yang lama maka mengulangi sholat dari awal.</li>
<li>Jika dia ingat setelah selang waktu yang pendek maka tinggal menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian mengucapkan salam</li>
</ul><b>2</b>. Tambahan dalam sholat : Jika ia menambah dalam sholatnya baik menambah berdirinya, atau duduknya, atau ruku'nya, ataupun sujudnya<br />
<ul><li>Jika ia baru ingat setelah selesai dari melakukan tambahan tersebut maka tinggal sujud sahwi saja </li>
</ul><ul><li>Jika dia ingat tatkala sedang akan menambah maka dia harus kembali </li>
</ul><b>3</b>. Meninggalkan rukun sholat : Jika ia meninggalkan salah satu rukun sholat (selain takbirotur ihroom, karena jika yang ditinggal takbirotul ihrom maka sholatnya harus diulang).<br />
<ul><li>Jika telah sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka rakaat yang lalu tidak dianggap, dan rakaat yang selanjutnya inilah yang menduduki posisi rakaat yang lalu </li>
<li>Kalau ia belum sampai pada tempat rukun yang ia tinggalkan pada rakaat selanjutnya maka ia harus kembali ke tempat rukun yang ia tinggalkan lalu mengerjakan rukun tersebut dan melanjutkan sholatnya</li>
</ul><b>4a</b>. Ragu dalam sholat : Jika ia ragu dalam sholat apakah sudah sholat dua rakaat atau tiga rakaat?, maka ada dua kemungkinan :<br />
<ul><li>Jika ia lebih condong pada salah satu dari dua kondisi tersebut maka ia amalkan, kemudian ia sempurnakan sholatnya dan salam </li>
</ul><div style="color: red;"><b>B. Permasalahan dan kondisi yang menyebabkan sujud sahwi dilakukan <u>sebelum salam</u></b></div><br />
<b>4</b>b. Permasalahan no.4a di atas dengan kondisinya<br />
<ul><li>Jika bimbang dan tidak condong pada salah satu kondisi, maka ia amalkan yang ia yakini (pasti) yaitu jumlah rakaat yang paling kecil (dalam hal ini anggap saja ia baru sholat 2 rakaat)</li>
</ul><b>5</b>. Jika ia meninggalkan salah satu kewajiban sholat (diantarannya, misalnya adalah meninggalkan tasyahhud awal atau lupa membaca subhaana Robbiyal 'Adziim tatkala ruku')<br />
<ul><li>Ia baru ingat setelah berpindah ke gerakan (rukun) selanjutnya (dalam hal meninggalkan tasyahhud awal maka ia telah tegak berdiri (ke rakaat ketiga), maka ia lanjutkan sholatnya dan tidak kembali duduk untuk tasyahhud</li>
<li>Jika ia ingat tatkala hendak bangun (namun belum sampai tegak berdiri) maka ia kembali duduk untuk tasyahhud </li>
<li>Jika ia ingat sebelum bangkit (sebelum kedua pahanya diangkat) maka ia tasyahhud dan tidak perlu sujud sahwi karenapada dasarnya belum ada tambahan atau kekurangan sebelum salam</li>
</ul><br />
<b><span style="font-size: large;">Catatan :</span></b><br />
<br />
<b><span style="color: red;">1</span></b>. Semua perkara-perkara diatas (baik meninggalkan rukun atau kewajiban, atau mengurangi atau menambah) jika dikerjakan dengan sengaja maka sholat menjadi batal.<br />
<b style="color: red;">2</b>. Barangsiapa yang meninggalkan sebuah perkara yang mustahab dalam sholat maka tidak perlu sujud sahwi<br />
<b style="color: red;">3</b>. Sujud sahwi disyari'atkan baik dalam sholat wajib maupun sholat sunnah<br />
<b style="color: red;">4</b>. Tidak disyari'atkan sujud sahwi dalam sholat janazah, karena asalnya sholat janazah tidak ada ruku' dan sujud<br />
<b style="color: red;">5</b>. Sujud sahwi dua kali sujud, terkadang dikerjakan sebelum salam dan terkadang setelah salam. Jika dikerjakan setelah salam maka harus salam lagi.<br />
<b style="color: red;">6</b>. Sujud sahwi dikerjakana karena adanya tambahan, atau kekurangan atau keraguan<br />
<b style="color: red;">7</b>. Sujud sahwi dikerjakan setelah salam dikarenakan 2 sebab,<br />
<b><span style="color: blue;">7.a</span></b>. Sebab pertama : Karena adanya tambahan, dan bentuk-bentuk tambahan ada tiga :<br />
<ul></ul><ul><li>Menambah berdiri atau duduk atau ruku atau sujud (adapun menambah selain dari 4 perkara ini, seperti menambah mengangkat kedua tangan di tempat2 yang tidak disyari'atkan untuk mengangkat kedua tangan maka tidak disyari'atkan sujud sahwi, demikian juga misalnya membaca bacaan yang bukan pada tempatnya seperti membaca doa tasyahhud tatkala berdiri karena lupa, maka tidak perlu sujud sahwi)</li>
</ul>Dalilnya hadits Ibnu Mas'ud dimana ia berkata,<br />
<b><br />
</b><br />
<b>أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ له أَزِيدَ في الصَّلَاةِ فقال وما ذَاكَ قال صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ ما سَلَّمَ</b><br />
<br />
"<i>Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sholat dzhuhur 5 raka'at, maka dikatakan kepada beliau, "Apakah jumlah raka'at telah ditambah?", Maka Nabi berkata, "Memangnya ada apa?", maka ada yang berkata, "Engkau sholat 5 raka'at". Maka beliaupun sujud dua kali setelah salam</i> (HR Al-Bukhari no 1168 dan Muslim no 572)<br />
<ul><li> Salam sebelum berakhirnya sholat, dan hal ini termasuk tambahan dalam sholat, karena tatkala ia salam sebelum waktunya sehingga mengakhiri sholatnya, lalu ia ingat dan menyempurnakan kekurangan sholatnya, maka di akhir sholat ia akan salam lagi, karenanya ia salam dua kali. Berarti ada tambahan satu salam.</li>
</ul>Dalilnya : <i>Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengimami para sahabat pada waktu sholat dzuhur atau ashat, lalu tatkala sampai raka'at kedua maka beliau salam. Lantas beliau keluar segera menuju salah satu pintu mesjid. Orang-orangpun berkata, "Sholat telah diqosorkan". Nabipun berdiri ke sebuah kayu di mesjid lantas beliau bersandar di atasnya, seakan-akan beliau dalam keadaan marah. Lalu ada seseorang yang berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, engkau lupa ataukah sholat telah diqosor?". Nabi berkata, "Aku tidak lupa dan sholat tidak diqosor". Orang itu berkata, "Engkau telah lupa". Nabi berkata kepada para sahabat, "Apa benar apa yang telah dikatakan orang ini?", mereka menjawab, "Benar". Maka Nabipun maju lalu menyempurnakan sholatnya yang kurang kemudian beliau salam kemudian sujud dua rakaat lalu salam lagi</i> (HR Al-Bukhari no 468 dan Muslim no 573)<br />
<ul><li>Meninggalkan rukun sholat, karena jika dia ingat sebelum sampai atau pas sampai pada rukun yang ia tinggalkan pada rakaat berikutnya (sebagaimana kondisi permasalahan 3a dan 3b diatas) maka pada hakekatnya ia telah melakukan tambahan gerakan sholat.</li>
</ul>Dalilnya adalah dalil diatas tentang salam sebelum berakhirnya sholat, karena barang siapa yang salam sebelum berakhirnya sholat (misalanya salam pada rakaat kedua tatkala sholat dzhuhur) maka pada hekekatnya telah meninggalkan 2 rakaat yang lainnya yang merupakan rukun-rukun sholat dzuhur.<br />
Adapun rukun-rukun yang lain seperti( seseorang yang lupa untuk duduk diantara dua sujud, dan otomatis lupa sujud yang kedua, maka ia telah meninggalkan salah satu rukun sholat) maka hukumnya sama, yaitu sujud sahwinya setelah salam.<br />
<br />
<b><span style="color: blue;">7.b.</span></b> Sebab kedua : jika terjadi keraguan namun ada kecondongan kepada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat permasalahan dan kondisi 4.a)<br />
<ul></ul>Dalilnya adalah sabda Nabi :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>وإذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عليه ثُمَّ لِيُسَلِّمْ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ</b><br />
<br />
"<i>Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya maka hendaknya ia berusaha mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat-pent) kemudian ia sempurnakan sholatnya kemudian salam kemudia sujud dua kali</i>" (HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)<br />
<br />
<br />
<b style="color: red;">8</b>. Sujud sahwi dikerjakan sebelum salam dikarenakan 2 sebab<br />
<b style="color: blue;">8.a</b> Sebab pertama : karena ada kekurangan, dalam hal ini adalah meninggalkan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban sholat seperti tasyaahud awal<br />
<ul></ul>Dalilnya dari sahabat Abdullah bin Buhainah bahwasanya <br />
<b><br />
</b><br />
<b>صلى بِهِمْ الظَّهْرَ فَقَامَ في الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ لم يَجْلِسْ فَقَامَ الناس معه حتى إذا قَضَى الصَّلَاةَ وَانْتَظَرَ الناس تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وهو جَالِسٌ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ</b><br />
<br />
<i>Nabi </i><i>shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami mereka sholat dzuhur, beliaupun berdiri setelah dua rakaat (yaitu ke rakaat ketiga-pent) dan tidak duduk (tasyahhud awal). Orang-orang (para makmum) juga berdiri mengikuti Nabi. Hingga tatkala Nabi selesai sholat dan orang-orang menunggu beliau salam, beliaupun bertakbir dalam keadaan duduk lalu beliau sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau salam</i>" (HR Al-Bukhari no 795 dan Muslim no 570)<br />
<br />
<br />
Adapun jika meninggalkan kewajiban-kewajiban yang lain (seperti tidak membaca tasbih tatkala ruku' atau tatkala sujud) maka hukumnya sama diqiaskan dengan jika meninggalkan tasyahhud awal. Oleh karenanya baragsiapa yang lupa membaca tasbih tatkala ruku' hingga akhirnya ia telah i'tidal maka hendaknya ia meneruskan sholatnya dan tidak kembali ruku' untuk membaca tasbihnya yang ia lupakan.<br />
<br />
<b style="color: blue;">8.b</b> Sebab kedua : terjadi keraguan namun ia tidak bisa merojihkan (tidak ada kecondongan) pada salah satu dari dua kondisi yang ia ragukan (lihat kondisi 4b di atas)<br />
<ul></ul>Dalilnya sabda Nabi :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>إذا شَكَّ أحدكم في صَلَاتِهِ فلم يَدْرِ كَمْ صلى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قبل أَنْ يُسَلِّمَ</b><br />
<br />
"<i>Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam sholatnya dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia sholat, apakah tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya tersebut dan dia bangun sholatnya di atas yang dia yakini (yaitu jumlah rakaat yang terkecil karena itulah yang sudah pasti-pent) kemudian ia sujud dua kali sebelum salam</i>" (HR Muslim no 571)<br />
<br />
<b style="color: red;">9.</b> Keraguan tidak diperhatikan (yaitu tidak perlu sujud sahwi) jika hanya merupakan was-was, atau terlalu sering (yaitu selalu muncul setiap sholat), atau muncul setelah selesai sholat.<b style="color: red;">10</b>. Jika imam lupa lalu sujud sahwi maka wajib bagi makmum untuk mengikuti meskipun sang makmum tidak lupa. Kecuali masbuq, jika sujud sahwi yang dikerjakan imam setelah salam maka sang masbuq mengakhirkan sujud sahwinya setelah ia menyempurnakan sholatnya.<br />
<b style="color: red;">11.</b> Doa sujud sahwi sama seperti doa sujud-sujud yang lainnya, adapun doa khusus tentang sujud sahwi seperti<br />
<b><br />
</b><br />
<b>سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو</b> atau <b>ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا</b><br />
<br />
maka <i><b>tidak ada contohnya</b></i> dari Nabi <i>shallallahu 'alaihi wa sallam</i>.<br />
<br />
Diringkas dari Risalah fi sujuud As-Sahwi dan As-Syarhul Mumti' 3/336-399 dan fataawaa Nuur 'alaa Ad-Darb<br />
<br />
Oleh: Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja<br />
Artikel: <a href="http://www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/62-ringkasan-hukum-sujud-sahwi">www.firanda.com</a><br />
<br />
Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-24439872207437122942011-08-17T09:38:00.000+07:002011-08-17T09:38:14.184+07:00Metode Yang Benar Dalam memahami Ajaran Islam<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-qy_v2UY7TkA/TkspNmGTQtI/AAAAAAAAAq8/Qu6nPcC9fwQ/s1600/MINANG1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://3.bp.blogspot.com/-qy_v2UY7TkA/TkspNmGTQtI/AAAAAAAAAq8/Qu6nPcC9fwQ/s200/MINANG1.jpg" width="200" /></a></div>Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.<br />
<br />
Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.<br />
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?<br />
<br />
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i>. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.<br />
<br />
Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.<br />
<br />
<b>Makna Manhaj</b><br />
<b><br />
</b><br />
Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:<br />
<br />
“<i>Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj</i>.” (Al-Maidah: 48)<br />
<br />
Kata minhaj, sama dengan kata manhaj. Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).<br />
<br />
Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:<br />
<br />
<b>1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.</b> Allah <i>Subhana wa Ta’ala</i> berfirman:<br />
<br />
“<i>Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.</i>” (Al-A’raf: 3)<br />
<br />
Dan Rasulullah <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i> bersabda:<br />
<br />
“<i>Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.</i>” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)<br />
<br />
<b>2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih</b> yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i>:<br />
<br />
“<i>Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka</i>.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.<br />
<br />
Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)<br />
<br />
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i> mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.<br />
<br />
Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].<br />
<br />
Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)<br />
<br />
Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)<br />
<br />
Hal itu -<i>wallahu a’lam</i>- karena Nabi bersabda:<br />
<br />
“<i>Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan</i>.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]<br />
<br />
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.<br />
<br />
<b>3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab.</b> Allah berfirman:<br />
<br />
“<i>Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya)</i>.” (Al-A’raf: 3)<br />
<br />
“<i>Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.</i>” (Al-Hasyr: 7)<br />
<br />
Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)<br />
<br />
Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah <i>Subhana wa Ta’ala</i> dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).<br />
<br />
Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”<br />
<br />
Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)<br />
<br />
<b>4. Waspada dari para da'i jahat (yang menyeru pada kesesatan</b>). Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:<br />
<br />
"<i>Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah</i>." (Ali-Imran: 7)<br />
<br />
Ibnu Katsir mengatakan: "Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur'an untuk (membela) bid'ah mereka padahal Al Qur'an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan." (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]<br />
<br />
<b>5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah</b>. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.<br />
<br />
Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.<br />
<br />
Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)<br />
<br />
Nabi <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i> bersabda:<br />
<br />
“<i>Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.</i>” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)<br />
<br />
Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:<br />
<br />
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)<br />
<br />
Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).<br />
<br />
<b>6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio</b>, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:<br />
<br />
“<i>Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.</i>’” (Al-Anbiya: 45)<br />
<br />
“<i>Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)</i>.” (An-Najm: 3-4)<br />
<br />
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.<br />
<br />
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.<br />
<br />
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).<br />
<br />
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.<br />
<br />
Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.<br />
<br />
Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.<br />
<br />
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)<br />
<br />
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:<br />
<br />
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.<br />
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.<br />
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.<br />
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.<br />
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.<br />
<br />
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)<br />
<br />
<b>7. Menghindari perdebatan dalam agama.</b> Nabi <i>Shallallahu’alaihi wasallam</i> bersabda:<br />
<br />
“<i>Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan.’</i>” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)<br />
<br />
Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).<br />
<br />
Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)<br />
<br />
Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:<br />
<br />
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).<br />
<br />
Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).<br />
<br />
Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)<br />
<br />
Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.<br />
<br />
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;">http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=67 publish ulang http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/prinsip-prinsip-mengkaji-agama/</span>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-20824689050692399722011-08-16T10:03:00.000+07:002011-08-16T10:03:26.043+07:00Penghalang Terkabulnya Doa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-Xj7cvl_3tEs/TkndTACv-jI/AAAAAAAAAq4/Gds2QEVU5oU/s1600/dua1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://1.bp.blogspot.com/-Xj7cvl_3tEs/TkndTACv-jI/AAAAAAAAAq4/Gds2QEVU5oU/s200/dua1.jpg" width="200" /></a></div><b>Tanya</b> : Saya sering berdoa. Tapi, saya merasakan bahwa doa saya jarang terkabul. Mungkin doa saya terhalang. Bisa dijelaskan faktor-faktor penyebabnya ?<br />
<br />
<b>Jawab</b> : Adalah sangat baik jika kita memperbanyak doa, sebab memperbanyak doa adalah merupakan salah satu perintah Allah sebagaimana firman-Nya :<br />
<a name='more'></a><br />
<b><br />
</b><br />
<b>وَقَالَ رَبّكُـمْ ادْعُونِيَ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنّ الّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنّمَ دَاخِرِينَ</b><br />
<br />
Dan Tuhanmu berfirman : "<i>Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.</i>" [QS. Al-Mukmin : 60].<br />
<br />
Namun jika kita merasa bahwa doa kita belum terkabulkan, maka kita tidak boleh putus asa. Kita harus ber-husnudhan pada Allah ta’ala dengan terus introspeksi terhadap diri kita sendiri. Ketika berdoa, kita harus memperhatikan adab-adab berdoa, diantaranya : ikhlash, sungguh-sungguh, khusyuk, penuh kerendahan, dan yakin bahwa doa kita pasti akan dikabulkan (sebagaimana firman Allah di atas). Awalilah doa kita dengan sanjungan kepada Allah ta’ala dan shalawat kepada Nabi-Nya <i>Shallallaahu ’alaihi wasallam</i>. Bisa jadi doa kita terhalang karena beberapa faktor, diantaranya :<br />
<br />
<i><b>1. Makan dan minum dari yang haram,</b></i> mengkonsumsi barang haram berupa makanan, minuman, pakaian, dan hasil usaha yang haram. Rasulullah <i>Shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يُقبَلَ إِلا طَيِّباً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ اْلمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِاْلحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟</b><br />
<br />
“<i>Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala adalah Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada para Rasul. Allah ta’ala berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih</i>” (QS. Al-Mu’minuun : 51). Dan Allah berfirman : “<i>Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu</i>” (QS. Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi <i>Shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata,”Ya Rabb..ya Rabb…”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1015].<br />
<br />
<i><b>2. Minta cepat terkabul doa yang akhirnya meninggalkan doa.</b></i> Rasulullah <i>Shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ</b><br />
<br />
“<i>Dikabulkan doa seseorang dari kalian selama ia tidak buru-buru,(dimana) ia berkata : ”Aku sudah berdoa namun belum dikabulkan doaku</i>” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5981 dan Muslim no. 2735].<br />
<b><br />
</b><br />
<b>لا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيْلَ يَا رَسوْلَ اللهِ مَا اْلاِسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُوْلُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَم أَرَ يَسْتَجِيْبُ لِيْ فَيَسْتحْسِرَ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ</b><br />
<br />
“<i>Senantiasa doa seorang hamba akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk berbuat dosa atau memutuskan silaturahim, dan selama ia tidak meminta dengan tergesa-gesa (isti’jal)”. Ada yang bertanya : “Ya Rasulullah, apa itu isti’jal ?”. Jawab beliau : “Jika seseorang berkata : ‘Aku sudah berdoa, memohon kepada Allah, tetapi Dia belum mengabulkan doaku’. Lalu ia merasa putus asa dan akhirnya meninggalkan doanya tersebut</i>” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2735].<br />
<br />
<i><b>3. Melakukan maksiat dan apa yang diharamkan Allah</b></i>. Seorang penyair berkata : “Bagaimana mungkin kita mengharap terkabulnya doa, sedangkan kita sudah menutup jalannya dengan dosa dan maksiat”.<br />
<br />
<i><b>4. Meninggalkan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah</b></i>. Rasulullah <i>Shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>bersabda :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلْتَنْهَوُنَّ عَنِ اْلمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ</b><br />
<br />
“<i>Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan</i>” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2169, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah 14/3453, dan Ahmad no. 23360. At-Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan”].<br />
<br />
<i><b>5. Berdoa yang isinya mengandung perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim.</b></i><br />
<br />
<i><b>6. Tidak bersungguh-sungguh dalam berdoa</b></i>. Rasulullah <i>Shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda :<br />
<b><br />
</b><br />
<b>إِذَا دَعَوْتُمُ اللهَ فَاعْزِمُوْا فِي الدُّعَاءِ وَلا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنْ اللهَ لا مُسْتَكْرِهَ لَهُ</b><br />
<br />
“<i>Apabila seseorang dari kamu berdoa dan memohon kepada Allah, janganlah ia mengucapkan : ‘Ya Allah, ampunilah dosaku jika Engkau kehendaki, sayangilah aku jika Engkau kehendaki, dan berilah rizki jika engkau kehendaki ‘. Akan tetapi, ia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Sesungguhnya Allah berbuat menurut apa yang Ia kehendaki dan tidak ada yang memaksa-Nya</i>” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 7026].<br />
<br />
<i><b>7. Tidak khusyu’, lalai, dan terkuasai hawa nafsu</b></i>. Rasulullah <i>Shallallaahu ‘alaihi wasallam</i> bersabda :<br />
<i><b><br />
</b></i><br />
<i><b>ادْعُوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاهٍ</b></i><br />
<br />
“<i>Berdoalah kepada Allah dan kamu yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak khusyu’ </i>“ [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3479 dan Al-Hakim no. 1817; hasan lighairihi].<br />
<br />
Kalaupun misalnya Allah ta’ala belum mentaqdirkan doa kita terwujud, kita harus <b>sabar</b> dan <b>ridla</b> bahwasannya Allah ta’ala mempunyai hikmah yang sangat besar. Allah ta’ala sangat sayang terhadap hamba-Nya dan seorang hamba tidak tahu tentang akibat urusannya. Terkadang seseorang mengharapkan sesuatu, padahal itu jelek buat dia. Sebaliknya, seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik buat dia. <i>Wallaahu a’lam.</i><br />
<br />
<br />
sumber:<br />
<span style="font-size: x-small;">http://abul-jauzaa.blogspot.com/</span>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-56158165225553470122011-08-16T09:29:00.000+07:002011-08-16T09:29:29.052+07:00Taubat Nashuha<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-6DTKQFtTXes/TknVh4sWOeI/AAAAAAAAAq0/R7S9zQ2LQsY/s1600/ruang+masjid.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://2.bp.blogspot.com/-6DTKQFtTXes/TknVh4sWOeI/AAAAAAAAAq0/R7S9zQ2LQsY/s200/ruang+masjid.jpg" width="200" /></a></div>Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu mendominasi jiwanya, ia akan menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan, ketaatan seolah tidak memiliki nilai berarti.<br />
<br />
Meski manusia di rundung oleh kemaksiatan dan dosa yang menumpuk, bukan berarti tidak ada lagi pintu untuk memperbaiki diri, karena Rahmat Allah selalu terbuka, yaitu dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya ke jurang neraka. Taubat yang di lakukan haruslah total, yang di kenal dengan taubat nashuha.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa Sallam</i> bersabda:<br />
<br />
"<i>Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat</i>". [HR. at-Tirmidzi, no 2499 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' Ash Shaghir no 4391]<br />
<br />
"<i>Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah akan menciptakan makhluk lain yang akan berbuat dosa kemudian mengampuni mereka</i>". [HR.Al-Hakim, hlm 4/246 dan di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no 967]<br />
<br />
Dengan bertaubat kita dapat membersihkan hati dari noda yang mengotorinya . Sebab dosa menodai hati, dan membersihkannya merupakan kewajiban.<br />
<br />
Rasulullah <i>Shallalahu 'alaihi wa Sallam</i> bersabda:<br />
<br />
"<i>Sesungguhnya bila seorang mu'min berbuat dosa, maka akan timbul satu titik noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat meninggalkan perbuatan tersebut dan memohon ampunan kepada Allah, maka hatinya kembali bersih. Tetapi bila menambah perbuatan dosa, maka bertambahlah noda hitam tersebut sampai memenuhi hatinya. Maka itulah ar raan (penutup hati) yang telah disebutkan Allah dalam firman-Nya, "sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka</i>" (QS. Al-Muthaffifin: 14). [HR.Ibnu Majah no 4244 dan dihasankan oleh Albani dalam Shahih Al Jaami' no 1666]<br />
<br />
Allah juga menganjurkan kita untuk segera bertaubat dan beristighfar, karena hal demikian jauh lebih baik daripada larut dalam dosa.<br />
<br />
Allah berfirman (yang artinya):<br />
<br />
"<i>Maka jika mereka bertaubat, itu lebih baik bagi mereka dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di muka bumi</i>." (QS. At-Taubah: 74).<br />
<br />
Rasulullah sendiri telah memberikan contoh dalam bertaubat ini. Beliau <i>Shallalahu 'alaihi wa Sallam</i> banyak bertaubat dan beristighfar, sampai-sampai para sahabat mengitungnya sebanyak lebih dari seratus kali majelis, sebagaimana Nafi' maula Ibnu Umar telah menyatakan:<br />
<br />
"<i>Ibnu Umar pernah mengitung (bacaan istighfar) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam suatu majlis sebelum bangkit darinya seratus kali (yang berbunyi): "Ya Rabbku, ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Maha pengampun</i>". [HR. Tirmidzi no 3434 dan di shahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no 556]<br />
<br />
<b>Pengertian taubat nashuha.</b><br />
<br />
Yang di maksud dengan taubat nashuha adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dari dosa yang pernah di lakukannya , baik sengaja ataupun karena ketidaktahuannya, dengan jujur, ikhlas, kuat dan di dukung dengan ketaatan-ketaatan yang mengangkat seorang hamba mencapai kedudukan para wali Allah yang muttaqin (bertaqwa) dan (ketaatan) yang menjadi pelindung dirinya dari setan.<br />
<br />
<b>Hukum dan anjuran taubat nashuha.</b><br />
<br />
Hukum taubat nashuha adalah fardhu 'ain atas setiap individu.<br />
<br />
dalilnya:<br />
<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya:<br />
<br />
"<i>Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung</i>".(QS.An-Nuur: 31).<br />
<br />
"<i>Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya</i>".(QS. At-Tahrim: 8)<br />
<br />
Sabda Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa Sallam</i>;<br />
<br />
"<i>Wahai kaum musminin, bertaubatlah kepada Allah, karena saya juga bertaubat kepada Allah sehari seratus kali</i>". [HR. Muslim 17/24 dengan syarh Nawawi, dari hadist 'Abdullah bin 'Umar.]<br />
<br />
Umat islam juga telah bersepakat tentang kewajiban bertaubat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al Qurthubi: "(para ulama) umat telah ijma' (bersepakat) bahwa hukum bertaubat adalah fardhu (wajib) atas seluruh mukminin" (Al Jaami' Li Ahkam Al Qur'an 5/90) dan Ibnu Qudamah juga menyatakan demikian (Mukhtashar Minhaaj Al Qashidin, hlm 322).<br />
<br />
<b>Keluasan Rahmat Allah dan keutamaan taubat nashuha.</b><br />
<br />
Manusia hendaklah jangan khawatir jika taubatnya tidak di terima, karena Rahmat Allah sangat luas, sebagaimana do'a para malaikat yang di jelaskan dalam firman-Nya, (yang artinya): "<i>Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan bagi orang-orang yang bertaubat dan yang mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala</i>". (QS. Al Mu'min: 7).<br />
<br />
<b>Syarat taubat nashuha.</b><br />
<br />
Agar taubat nashuha bisa diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala, ada beberapa syarat yang harus dipenuhinya :<br />
<br />
<i><b>1.Islam</b></i>, Taubat yang diterima hanyalah dari seorang muslim. Adapun orang kafir, maka taubatnya adalah dengan masuk memeluk islam. Allah berfirman (artinya) : "<i>Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, barulah ia mengatakan "sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran . Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.</i> (QS. An Nisaa': 18)<br />
<br />
<i><b>2.Ikhlas.</b></i>Taubat yang diterima secara syari'at, hanyalah yang di dasari dengan keikhlasan . Taubat karena riya' atau tujuan duniawi tidak dikatakan sebagai taubat syar'i. Allah berfirman, (artinya): " <i>Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguhpada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama -sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar</i>". (QS. An Nisaa': 146).<br />
<br />
<i><b>3.Mengakui dosanya.</b></i> Taubat tidak sah kecuali setelah mengetahui perbuatan dosa tersebut dan mengakui kesalahannya, serta berharap selamat dari akibat buruk perbuatan tersebut.<br />
<br />
<i><b>4.Penuh penyesalan.</b></i> Taubat hanya bisa diterima dengan menunjukkan penyesalannya yang mendalam. Rasulullah <i>Shallalalhu 'alaihi wa Sallam</i> bersabda: "<i>penyesalan adalah taubat</i>". (HR. Ibnu Majah no 4252 dan Ahmad no 3568 dan yang lainnya. Hadist ini di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami' Al Shaghir no 6678)<br />
<br />
<i><b>5.Meninggalkan kemaksiatan dan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya.</b></i> Orang yang bertaubat wajib meninggalkan kemaksiatannya dan mengembalikan setiap hak kepada pemilkinya, jika berupa harta atau sejenisnya. Kalau berupa tuduhan fitnah atau sejenisnya maka dengan cara meminta maaf. Apabila berupa ghibah (mengunjing) maka dengan cara memohon di halalkan selam permohonan tersebut tidak menimbulkan pengaruh buruk yang lain. Bila ternyata berimplikasi buruk, maka cukuplah dengan mendo'akannya untuk meraih kebaikan.<br />
<br />
<i><b>6.Masa bertaubat sebelum nafas berada di kerongkongan(sakratul maut) dan sebelum matahari terbit di arah barat.</b></i> Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa Sallam</i> telah menjelaskan dalam sabdanya: "<i>Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum nafasnya berada di kerongkongan</i>". (HR. Tirmidzi no 3537 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami' Ash Shaghir no 1899). dan sabdanya yang lain: "<i>Hijrah tidak terputus sampai terhentinya masa untuk bertaubat, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat</i>". (HR. Abu Dawud no 2479 dan Ahmad dalam Musnad 3/99 dan di shahihkan dalam Shahih Al Jaami' no 7469).<br />
<br />
<i><b>7.Istiqamah setelah taubat</b></i>. Allah berfirman, (artinya): "<i>Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang-orang yang telah betaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan</i>". (QS.Huud: 112).<br />
<br />
<i><b>8.Mengadakan perbaikan setelah taubat</b></i>. Allah berfirman, (artinya): "<i>Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah "salaamun 'alaikum". Rabb mu telah menetapkan akan diri-Nya kasih sayang, yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan , maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang</i>". (QS. Al An'am: 54).<br />
<br />
<b>Yang harus di ingat ketika bertaubat:</b><br />
<br />
<ul><li><i><b>Meyakini bahwa Allah Maha mengetahui dan Maha melihat</b></i>. Allah mengetahui segala yang tersembunyi dan yang di sembunyikan di dalam hati, meskipun kita tidak melihatnya tetapi Dia pasti melihatnya.</li>
<li><i><b>Lihat keagungan Dzat yang anda durhakai dan jangan melihat kepada kecilnya objek maksiat</b></i>, sebagaimana firman-Nya, (artinya): " <i>Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih</i>"(QS. Al Hijr: 50).</li>
<li><i><b>Ingatlah bahwa dosa itu semuanya jelek dan buruk, karena ia menjadi penghalang dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat</b></i>.</li>
<li><i><b>Meninggalkan tempat-tempat kemaksiatan dan teman-teman yang berperangai buruk</b></i>, yang bisa membantunya dalam berbuat dosa serta memutus hubungan dengan mereka selam mereka belum berubah menjadi baik.</li>
</ul><br />
<b>Hal-hal yang menghalangi taubat.</b><br />
<br />
Diantara hal-hal yang menghalangi taubat adalah:<br />
<br />
<ol><li><i><b>Bid'ah dalam agama</b></i>. Rasulullah <i>Shallalahu 'alaihi wa Sallam</i> bersabda (yang artinya): "<i>Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid'ah</i>".( Ash Shahihah no 1620).</li>
<li><i><b>Kecanduan minuman keras</b></i> . Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa Sallam</i> bersabda (artinya): "<i>Barangsiapa yang minum khamr(minuman keras), maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. Jika ia bertaubat, maka Allah akan menerimanya . Namun jika ia mengulanginya lagi, maka pantaslah bila Allah memberinya minuman dari sungai khibaal. Ada yang bertanya : "Apa itu sungai khibaal.? Beliau menjawab, "Nanah penduduk neraka"</i>. [HR.Ahmad 2/189 dan di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami' Ash Shaghir no 6188].</li>
</ol><br />
Demikianlah secara ringkas risalah tentang taubat nashuha. Semoga dapat menjadi pengingat kita untuk senantiasa bertaubat kepada Allah <i>Azza wa Jalla.</i><br />
<br />
Disadur dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M, di ringkas oleh ust Kholid Syamhudi dari At Taubah An Nashuha, karya Syaikh Salim bin Id Al Hilali, penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah Yordania dan Dar Ibnu Beirut, cet III, Th.1413H.<br />
<br />
<br />
Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-8195963681558003532011-08-15T17:00:00.000+07:002011-08-15T17:00:37.020+07:00Fidyah Bagi Yang Tidak Mampu Menunaikan Qodho' Puasa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-NghZH98dxrk/TkjuALecHSI/AAAAAAAAAqw/xikXB02X_A8/s1600/mobile-wallpapers-islamic14.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://4.bp.blogspot.com/-NghZH98dxrk/TkjuALecHSI/AAAAAAAAAqw/xikXB02X_A8/s200/mobile-wallpapers-islamic14.jpg" width="200" /></a></div>Para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat bahwa fidyah dalam puasa dikenai pada orang yang tidak mampu menunaikan qodho’ puasa. Hal ini berlaku pada orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit dan sakitnya tidak kunjung sembuh. Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah <i>Ta’ala</i>,<br />
<b><br />
</b><br />
<b>وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ</b><br />
<br />
“<i>Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin</i>” (QS. Al Baqarah: 184).[1]<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ibnu ‘Abbas <i>radhiyallahu 'anhuma</i> mengatakan,<br />
<b><br />
</b><br />
<b>هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا</b><br />
<br />
“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”.[2]<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>Jenis dan Kadar Fidyah</b></div><br />
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa. Ini juga yang dipilih oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum). Ini dikeluarkan masing-masing untuk satu hari puasa yang ditinggalkan dan nantinya diberi makan untuk orang miskin.[3]<br />
<br />
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa fidyah satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan”.[4]<br />
<br />
Beberapa ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu Baz[5], Syaikh Sholih Al Fauzan[6] dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia)[7] mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat di antaranya Ibnu ‘Abbas <i>radhiyallahu ‘anhuma</i>.<br />
<br />
Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.<br />
<br />
<b>Yang lebih tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan yang lazim)</b>. Maka kita dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan.[8]<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>Fidyah Tidak Boleh Diganti Uang</b></div><br />
Perlu diketahui bahwa tidak boleh fidyah yang diwajibkan bagi orang yang berat berpuasa diganti dengan uang yang senilai dengan makanan karena dalam ayat dengan tegas dikatakan harus dengan makanan. Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,<br />
<b><br />
</b><br />
<b>فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ</b><br />
<br />
“<i>Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin</i>.”<br />
<br />
Syaikh Sholih Al Fauzan <i>hafizhohullah</i> mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak bisa digantikan dengan uang sebagaimana yang penanya sebutkan. Fidyah hanya boleh dengan menyerahkan makanan yang menjadi makanan pokok di daerah tersebut. Kadarnya adalah setengah sho’ dari makanan pokok yang ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa makanan sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh dengan uang. Karena Allah <i>Ta’ala</i> berfirman (yang artinya), “Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat jelas memerintah dengan makanan.”[9]<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>Cara Pembayaran Fidyah</b></div><br />
Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,<br />
<br />
Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa)[10].<br />
Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.[11]<br />
<br />
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari.[12] Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”[13]<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>Waktu Pembayaran Fidyah</b></div><br />
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua[14].<br />
<br />
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.[15]<br />
<br />
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.<br />
<br />
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.<br />
<br />
<br />
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br />
<br />
Artikel www.rumaysho.com<br />
<br />
<br />
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1586.<br />
<br />
[2] HR. Bukhari no. 4505.<br />
<br />
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11538.<br />
<br />
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21.<br />
<br />
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203.<br />
<br />
[6] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.<br />
<br />
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.<br />
<br />
[8] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/30-31.<br />
<br />
[9] Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886.<br />
<br />
[10] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.<br />
<br />
[11] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 2/22.<br />
<br />
[12] Lihat penjelasan dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198.<br />
<br />
[13] Al Inshof, 5/383.<br />
<br />
[14] Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih.<br />
<br />
[15] Lihat Syarhul Mumthi’, 2/22.Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-13873201892184734542011-08-13T09:26:00.000+07:002011-08-13T09:26:24.371+07:00Panduan Shalat Tarwih<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-YWEs7zAcxxI/TkXgbuh3_dI/AAAAAAAAAqs/pk4UVTGhBYA/s1600/mobile-wallpapers-islamic13.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://1.bp.blogspot.com/-YWEs7zAcxxI/TkXgbuh3_dI/AAAAAAAAAqs/pk4UVTGhBYA/s200/mobile-wallpapers-islamic13.jpg" width="200" /></a></div><br />
Shalat tarawih adalah shalat yang hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih merupakan shalat malam atau di luar Ramadhan disebut dengan shalat tahajud. Shalat malam merupakan ibadah yang utama di bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoif Al Ma’arif berkata, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki dua jihadun nafs (jihad pada jiwa) yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini, maka ia akan mendapati pahala yang tak hingga.”<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="color: red;"><b>Keutamaan Shalat Tarawih</b></span><br />
<b>Pertama</b>: Shalat tarawih mengampuni dosa yang telah lewat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ</div>“<i>Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni</i>.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39). Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat dilakukan karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul Bari, 4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha bahwa pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar menjauhi dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).<br />
<span style="color: red;"><b>Lebih Semangat di Akhir Ramadhan</b></span><br />
Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman,<br />
<div style="text-align: center;">لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ</div>“<i>Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan</i>” (QS. Al Qadar: 3). Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ</div>“<i>Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni</i>.” (HR. Bukhari no. 1901)<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits,<br />
<div style="text-align: center;">كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.</div>“<i>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya</i>.” (HR. Muslim no. 1175)<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim. Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. ‘Aisyah mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ</div>“<i>Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya</i>.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan disunnahkan pula untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)<br />
<span style="color: red;"><b>Semangat Tarawih Berjama’ah</b></span><br />
Sudah sepantasnya setiap muslim mendirikan shalat tarawih tersebut secara berjama’ah dan terus melaksanakannya hingga imam salam. Karena siapa saja yang shalat tarawih hingga imam selesai, ia akan mendapat pahala shalat semalam penuh. Padahal ia hanya sebentar saja mendirikan shalat di waktu malam. Sungguh inilah karunia besar dari Allah Ta’ala. Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ</div>“<i>Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dicatat seperti melakukan shalat semalam penuh</i>.” (HR. Tirmidzi no. 806, shahih menurut Syaikh Al Albani)<br />
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berselisih pendapat apakah shalat tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian atau berjama’ah di masjid. Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang afdhol adalah shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus ikut melaksanakannya seperti itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39).<br />
<span style="color: red;"><b>11 ataukah 23 Raka’at?</b></span><br />
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at yang banyak.” (At Tamhid, 21/70). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,<br />
<div style="text-align: center;">صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى</div>“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.<br />
Al Baaji rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi ‘Umar memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam sebanyak 11 raka’at. Namun beliau memerintahkan seperti ini di mana bacaan tiap raka’at begitu panjang, yaitu imam sampai membaca 200 ayat dalam satu raka’at. Karena bacaan yang panjang dalam shalat adalah shalat yang lebih afdhol. Ketika manusia semakin lemah, ‘Umar kemudian memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat sebanyak 23 raka’at, yaitu dengan raka’at yang ringan-ringan. Dari sini mereka bisa mendapat sebagian keutamaan dengan menambah jumlah raka’at.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27/142)<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Semua jumlah raka’at di atas (dengan 11, 23 raka’at atau lebih dari itu, -pen) boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikit pun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. <span style="color: blue;">Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru</span>.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)<br />
<b><span style="color: red;">Tuntunan Lain Shalat Tarawih</span></b><br />
Shalat tarawih lebih afdhol dilakukan dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “<i>Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at</i>.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:30)<br />
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika istirahat. (Lihat Al Inshof, 3/117)<br />
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:420)<br />
<b><span style="color: red;">Menutup Shalat Malam dengan Witir</span></b><br />
Shalat witir adalah shalat yang dilakukan dengan jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً</div>“<i>Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir</i>.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan dengan tiga raka’at, maka dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at, sekali salam [HR. Al Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].<br />
Dituntunkan pula ketika witir untuk membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ” Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?” Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir (<span style="color: blue;"><i>Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait</i></span>, -pen) [HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani]. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2:1062)<br />
Setelah witir dituntunkan membaca, “<i><span style="color: blue;">Subhaanal malikil qudduus</span></i>”, sebanyak tiga kali dan mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406, shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa membaca bacaan “<span style="color: blue;"><i>Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik</i></span>” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri] (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)<br />
<span style="color: red;"><b>Kekeliruan Seputar Shalat Tarawih</b></span><br />
Berikut beberapa kekeliruan saat pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah dan tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
1. Dzikir berjama’ah di antara sela-sela shalat tarawih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11:190)<br />
2. Melafazhkan niat selepas shalat tarawih. Imam Nawawi berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, 1:268).<br />
3. Memanggil jama’ah dengan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:140).<br />
4. Mengkhususkan dzikir atau do’a tertentu antara sela-sela duduk shalat tarawih, apalagi dibaca secara berjama’ah. Karena ini jelas tidak ada tuntunannya (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:144).<br />
Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan keistiqomahan untuk menghidupkan malam-malam kita dengan shalat tarawih. <i>Wallahu waliyyut taufiq.</i><br />
<br />
Penulis: <a href="http://rumaysho.com/">Muhammad Abduh Tuasikal</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-63298362570481807192011-08-13T09:04:00.000+07:002011-08-13T09:04:33.432+07:00Link Sunnah<b>BLOG ISLAMI </b><br />
<ul><li><a href="http://www.zainalabidin.org/" title="Ustadz Zainal Abidin, Lc.">Ustadz Zainal Abidin, Lc.</a> (http://www.zainalabidin.org/)</li>
<li><a href="http://abuihsan.com/" title="Ustadz Abu Ihsan Al Atsari">Ustadz Abu Ihsan Al Atsari</a> (http://abuihsan.com/)</li>
<li><a href="http://www.ustadzkholid.com/" title="Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.">Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.</a> (http://www.ustadzkholid.com/)<a name='more'></a></li>
<li><a href="http://firanda.com/" title="Ustadz Firanda Andirja, Lc.">Ustadz Firanda Andirja, Lc.</a> (http://firanda.com/)</li>
<li><a href="http://abuyahyabadrusalam.com/" title="Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.">Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.</a> (http://abuyahyabadrusalam.com)</li>
<li><a href="http://basweidan.wordpress.com/" title="Ustadz Basweidan, Lc.">Ustadz Basweidan, Lc.</a> (http://basweidan.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/" title="Ustadz Abdullah Roy, Lc.">Ustadz Abdullah Roy, Lc.</a> (http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/)</li>
<li><a href="http://addariny.wordpress.com/" title="Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.">Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.</a> (http://addariny.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://fariqgasimanuz.wordpress.com/" title="Ustadz Fariq Gasim">Ustadz Fariq Gasim</a> (http://fariqgasimanuz.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://ustadzaris.com/" title="Ustadz Aris Munandar, Ss.">Ustadz Aris Munandar, Ss.</a> (http://ustadzaris.com/)</li>
<li><a href="http://www.abuhaidar.web.id/" title="Ustadz Abu Haidar">Ustadz Abu Haidar</a> (http://www.abuhaidar.web.id/)</li>
<li><a href="http://abuzubair.net/" title="Ustadz Abu Zubair, Lc.">Ustadz Abu Zubair, Lc.</a> (http://abuzubair.net/)</li>
<li><a href="http://ustadzmuslim.com/" title="Ustadz Muslim Atsary">Ustadz Muslim Atsary</a> (http://ustadzmuslim.com/)</li>
<li><a href="http://abiubaidah.com/" title="Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi">Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi</a> (http://abiubaidah.com/)</li>
<li><a href="http://ahmadsabiq.com/" title="Ustadz Ahmad Sabiq">Ustadz Ahmad Sabiq</a> (http://ahmadsabiq.com/)</li>
<li><a href="http://abuumar.com/" title="Ustadz Abu Umar Basyir">Ustadz Abu Umar Basyir</a> (http://abuumar.com/)</li>
<li><a href="http://www.abufawaz.wordpress.com/" title="Ustadz Muhammad Wasitho">Ustadz Muhammad Wasitho</a> (http://www.abufawaz.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://kajiansaid.wordpress.com/" title="Ustadz Sa'id Yai Ardiyansyah, Lc.">Ustadz Sa’id Yai Ardiyansyah, Lc.</a> (http://kajiansaid.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://abu0dihyah.wordpress.com/" title="Ustadz Marwan Abu Dihyah">Ustadz Marwan Abu Dihyah</a> (http://abu0dihyah.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://noorakhmad.blogspot.com/" title="Ustadz Abu Ali Nur Ahmad, ST.,MEng.,Phd.">Ustadz Abu Ali, ST.,MEng.,Phd.</a> (http://noorakhmad.blogspot.com/)</li>
<li><a href="http://rumaysho.com/" target="_blank" title="Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.">Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.</a> (http://rumaysho.com/)</li>
<li><a href="http://abumushlih.com/" title="Ustadz Ari Wahyudi">Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, Ssi.</a> (http://abumushlih.com/)</li>
<li><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/" target="_blank" title="Ustadz Abul Jauzaa">Ustadz Abul Jauzaa</a> (http://abul-jauzaa.blogspot.com)</li>
<li><a href="http://abusalma.wordpress.com/" target="_blank" title="Ustadz Abu Salma">Ustadz Abu Salma</a> (http://abusalma.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://serambimadinah.com/" target="_blank" title="Ustadz Madinah">Ustadz-Ustadz Madinah</a> (http://serambimadinah.com/)</li>
<li><a href="http://albamalanjy.wordpress.com/">Akh Apri Hernowo</a> (http://albamalanjy.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://abukarimah.wordpress.com/">Akh Didik Suyadi</a> (http://abukarimah.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://alashree.wordpress.com/">Akh Ginanjar Indrajati</a> http://alashree.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://tholib.wordpress.com/">Akh Aryo Abu Shilah</a> (http://tholib.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://alhijroh.co.cc/">Akh Aditya Budiman</a> http://alhijroh.co.cc)</li>
<li><a href="http://adniku.wordpress.com/" target="_blank">Akh Adni Kurniawan</a> (http://adniku.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://syaikhulislam.wordpress.com/" target="_blank">Akh Athoilah</a> (http://syaikhulislam.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://wahonot.wordpress.com/" target="_blank">Akh Bambang Wahono</a> (http://wahonot.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://salafiyunpad.wordpress.com/">Akh Amir UNPAD</a> (http://salafiyunpad.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://kangaswad.wordpress.com/">Akh Yulian Purnama</a> (http://kangaswad.wordpress.com)</li>
</ul><b>WEB ISLAMI (BAHASA INDONESIA) </b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://muslim.or.id/" target="_blank" title="Muslim.or.id">Muslim.or.id</a> (http://muslim.or.id/)</li>
<li><a href="http://almanhaj.or.id/" target="_blank" title="Al-Manhaj">Al-Manhaj</a> (http://almanhaj.or.id/)</li>
<li><a href="http://kajian.net/" title="Kajian Islam Online">Kajian.net</a> (http://kajian.net/)</li>
<li><a href="http://pengusahamuslim.com/" title="Pengusaha Muslim">Pengusaha Muslim</a> (http://pengusahamuslim.com/)</li>
<li><a href="http://ekonomisyariat.com/" title="Ekonomi Syariat">Ekonomi Syariat</a> (http://ekonomisyariat.com/)</li>
<li><a href="http://remajaislam.com/" target="_blank" title="Remaja Islam">Remaja Islam</a> (http://remajaislam.com/)</li>
<li><a href="http://ahlussunnah.info/" target="_blank" title="Ahlus Sunnah">Ahlus Sunnah</a> (http://ahlussunnah.info/)</li>
<li><a href="http://majalahsakinah.com/" target="_blank" title="Majalah Sakinah">Majalah Sakinah</a> (http://majalahsakinah.com/)</li>
<li><a href="http://www.majalahalfurqon.com/" target="_blank" title="Majalah Al Furqon">Majalah Al Furqon</a> (http://www.majalahalfurqon.com/)</li>
<li><a href="http://majalah-elfata.com/" title="Majalah EL-FATA">Majalah EL-FATA</a> (http://majalah-elfata.com/)</li>
<li><a href="http://www.almawaddah.or.id/" title="Majalah Al Mawaddah">Majalah Al Mawaddah</a> (http://www.almawaddah.or.id/)</li>
<li><a href="http://majalah-assaliim.com/" title="Majalah Assaliim">Majalah Assaliim</a> (http://majalah-assaliim.com/)</li>
<li><a href="http://belajarislam.or.id/" target="_blank" title="Belajar Islam">Belajar Islam</a> (http://belajarislam.or.id/)</li>
<li><a href="http://www.mufiidah.net/" target="_blank" title="Maktabah Mufiidah">Maktabah Mufiidah</a> (http://www.mufiidah.net/)</li>
<li><a href="http://www.raudhatulmuhibbin.org/" target="_blank" title="Maktabah Raudhatul Muhibbin">Maktabah Raudhatul Muhibbin</a> (http://www.raudhatulmuhibbin.org/)</li>
<li><a href="http://www.daarussunnah.co.nr/" target="_top">Daarus Sunnah</a> (http://www.daarussunnah.co.nr/)</li>
<li><a href="http://www.fatwa-ulama.com/" target="_self" title="Fatwa Ulama">Fatwa Ulama</a> (http://www.fatwa-ulama.com/)</li>
<li><a href="http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/" target="_blank" title="Ulama Syafi'iyyah">Ulama Syafi’iyyah</a> (http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/)</li>
<li><a href="http://salafyitb.wordpress.com/" target="_blank" title="Salafy ITB">Salafy ITB</a> (http://salafyitb.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://situs.assunnah.web.id/" target="_blank" title="Assunnah WEB ID">Assunnah WEB ID</a> (http://assunnah.web.id/)</li>
<li><a href="http://www.kajianonlinemedan.com/" target="_blank">Kajian Online Medan</a> (http://www.kajianonlinemedan.com/)</li>
<li><a href="http://forum-unand.blogspot.com/" target="_blank">Forum Studi Unand Padang</a> (http://forum-unand.blogspot.com/)</li>
<li><a href="http://www.islam-download.net/" target="_top" title="Situs Download dan Agregator">Islam Download</a> (http://www.islam-download.net/)</li>
<li><a href="http://www.manhaj.or.id/" target="_top" title="Manhaj Salaf">Manhaj.or.id</a> (http://www.manhaj.or.id/)</li>
<li><a href="http://www.perpustakaan-islam.com/" target="_blank" title="Perpustakaan islam">Perpustakaan Islam</a> (http://www.perpustakaan-islam.com/)</li>
<li><a href="http://sholat-kita.cjb.net/" target="_blank">Sholat Kita</a> (http://sholat-kita.cjb.net/)</li>
<li><a href="http://www.salafi.or.id/" target="_blank" title="Salafi Starter page">Starter Page</a> (http://www.salafi.or.id/)</li>
<li><a href="http://vbaitullah.or.id/" target="_blank" title="Villa Baitullah">Villa Baitullah</a> (http://vbaitullah.or.id/)</li>
<li><a href="http://hakekat.com/" target="_blank" title="Hakekat Syi'ah Imamiyah">Hakekat Syi’ah Imamiyah</a> (http://hakekat.com/)</li>
<li><a href="http://badar.muslim.or.id/" target="_blank" title="Kursus Bahasa Arab Online">Kursus Bahasa Arab Online</a> (http://badar.muslim.or.id/)</li>
<li><a href="http://www.dareliman.or.id/" target="_blank" title="Yayasan Dar el-Iman Padang">Yayasan Dar el-Iman Padang</a> (http://www.dareliman.or.id/)</li>
<li><a href="http://tarbiyah-sg.info/" target="_blank" title="Tarbiyah Singapore">Tarbiyah Singapore</a> (http://tarbiyah-sg.info/)</li>
<li><a href="http://situs.assunnah.web.id/" target="_blank">Feed Situs As Sunnah</a> (http://situs.assunnah.web.id/)</li>
<li><a href="http://forum.assunnah.web.id/" target="_blank" title="forum.assunnah.web.id">Forum Assunnah</a> (http://forum.assunnah.web.id/)</li>
<li><a href="http://ngaji-online.com/" title="Ngaji Online">Ngaji Online</a> (http://ngaji-online.com/)</li>
<li><a href="http://buletin.muslim.or.id/" title="Buletin At-Tauhid">Buletin At-Tauhid</a> (http://buletin.muslim.or.id/)</li>
<li><a href="http://www.syabaabussunnah.co.cc/" title="Blog ikhwah USU Medan">Syababussunnah</a> (http://www.syabaabussunnah.co.cc/)</li>
<li><a href="http://www.gensyiah.com/" title="Gen Syiah">Gen Syi’ah</a> (http://www.gensyiah.com/)</li>
</ul><b>MUSLIMAH (INDONESIA) </b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://www.muslimah.or.id/" target="_blank" title="Muslimah Salafiyah">Muslimah.or.id</a> (http://www.muslimah.or.id/)</li>
<li><a href="http://shalihah.com/" target="_blank" title="Muslimah Shalihah">Shalihah.com</a> (http://shalihah.com/)</li>
<li><a href="http://www.jilbab.or.id/" target="_blank" title="Jilbab Muslimah">Jilbab</a> (http://www.jilbab.or.id/)</li>
<li><a href="http://ummusalma.wordpress.com/" target="_blank">Ummu Salma</a> (http://ummusalma.wordpress.com)</li>
<li><a href="http://ummushofiyya.wordpress.com/" target="_blank">Ummu Shofia – Blog Muslimah dan Kesehatan</a> (http://ummushofiyya.wordpress.com/)</li>
</ul><b>SEARCH ENGINE ISLAMI</b><br />
<ul><li><a href="http://google.assunnah.web.id/" target="_blank" title="Google Assunnah">Google Assunnah</a> (http://google.assunnah.web.id/)</li>
<li><a href="http://yufid.com/" target="_blank" title="Yufid">Yufid</a> (http://yufid.com/)</li>
<li><a href="http://yufid.org/" target="_blank" title="Blog Yufid">Blog Yufid</a> (http://yufid.org/)</li>
</ul><b>RADIO & TV ONLINE</b><br />
<ul><li><a href="http://www.radiorodja.com/" target="_blank" title="Radio Rodja Bogor">Radio Rodja Bogor</a> (http://www.radiorodja.com/)</li>
<li><a href="http://radiomuslim.com/" title="Radio Muslim Jogja">Radio Muslim Jogja</a> (http://radiomuslim.com/)</li>
<li><a href="http://www.suaraquran.com/" target="_blank" title="Radio Suara Qur'an Sukoharjo">Radio Suara Qur’an Sukoharjo</a> (http://suaraquran.com/)</li>
<li><a href="http://www.radioarroyyan.com/" target="_blank" title="Radio Ar Royyan Gresik">Radio Ar Royyan Gresik</a> (http://www.radioarroyyan.com/)</li>
<li><a href="http://www.hang106.or.id/" target="_blank">Radio Hang Batam</a> (http://www.hang106.or.id/)</li>
<li><a href="http://alimanradio.or.id/" title="Radio Al Iman Surabaya">Radio Al Iman 900 AM Surabaya</a> (http://alimanradio.or.id/)</li>
<li><a href="http://radioalhikmah.com/" target="_blank" title="Radio Al Hikmah Surabaya">Radio al Hikmah Surabaya</a> (http://radioalhikmah.com/)</li>
<li><a href="http://hidayahfm.com/" target="_blank" title="Radio Hidayah Pekanbaru">Radio Hidayah Pekan Baru</a> (http://hidayahfm.com/)</li>
<li><a href="http://www.radiomuadz.com/" title="Radio Muadz Kendari">Radio Muadz Kendari</a> (http://www.radiomuadz.com/)</li>
<li><a href="http://ahsan.tv/" title="Ahsan TV">Ahsan TV</a> (http://ahsan.tv/)</li>
<li><a href="http://sss-tv.com/" title="Sarana Sunnah TV">Sarana Sunnah TV</a> (sss-tv.com/)</li>
</ul><b>INFORMASI PENGAJIAN</b><br />
<ul><li><a href="http://jadwal.kajian.org/" target="_blank">Jadwal Kajian</a> (http://jadwal.kajian.org/)</li>
<li><a href="http://muslim.or.id/infokajian" target="_blank">Info Kajian Muslim</a> (http://muslim.or.id/infokajian/)</li>
</ul><b>SOAL JAWAB ISLAM</b><br />
<ul><li><a href="http://konsultasisyariah.com/" title="Konsultasi Syariah">Konsultasi Syariah</a> (http://konsultasisyariah.com/)</li>
<li><a href="http://muslim.or.id/soaljawab" target="_blank">Soal Jawab Muslim.or.id</a> (http://muslim.or.id/soaljawab/)</li>
</ul><b>LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM</b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://stdi.imam-syafii.or.id/" target="_blank" title="STDI Imam Asy Syafi'i">STDI Imam Asy Syafi’i</a> (http://stdi.imam-syafii.or.id)</li>
<li><a href="http://mediujogja.com/" target="_blank" title="Al Madinah International University">MEDIU Jogja</a> (http://mediujogja.com/)</li>
<li><a href="http://bukhari.or.id/" target="_blank" title="Ma'had Imam Bukhari Solo">Ma’had Imam Bukhari Solo</a> (http://bukhari.or.id/)</li>
<li><a href="http://mahad.info/" target="_blank" title="Ma'had 'Ali Al-Irsyad Surabaya">Ma’had ‘Ali Al-Irsyad Surabaya</a> (http://mahad.info/)</li>
<li><a href="http://binhambal.wordpress.com/" title="Madrasah Imam Ahmad bin Hanbal Semarang">Madrasah Imam Ahmad bin Hanbal Semarang</a> (http://binhambal.wordpress.com/)</li>
<li><a href="http://alfurqon.co.id/" title="Ma'had Al Furqon">Ma’had Al-Furqon</a> (http://alfurqon.co.id/)</li>
</ul><b>WEB ILMIAH (BAHASA ARAB)</b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://www.alathar.net/" target="_blank">Ahlul Hadits wal Atsar</a> (http://www.alathar.net/)</li>
<li><a href="http://almenhaj.net/" target="_blank">Al-Menhaj</a> (http://almenhaj.net/)</li>
<li><a href="http://asaala.net/" target="_blank">Majalah Al-Ashalah</a> (http://asaala.net/)</li>
<li><a href="http://mufiidah.com/" target="_blank" title="Maktabah Mufiidah">Majalah Mufiidah</a> (http://mufiidah.com/)</li>
<li><a href="http://www.almeshkat.net/books/" target="_blank">Maktabah Misykatul Islamiyyah</a> (http://www.almeshkat.net/books/)</li>
<li><a href="http://islamspirit.com/" target="_blank">Maktabah Ruuhul Islam</a> (http://islamspirit.com/)</li>
<li><a href="http://www.sahab.org/" target="_parent">Maktabah Sahab Salafiyyah</a> (http://www.sahab.org/)</li>
<li><a href="http://saaid.net/book/index.php" target="_blank">Maktabah Shayidul Fawaid</a> (http://saaid.net/book/index.php)</li>
<li><a href="http://albanicenter.net/" target="_blank">Markaz Albani</a> (http://albanicenter.net/)</li>
<li><a href="http://www.salafiyat.com/" target="_blank">Multaqo Salafiyyah</a> (http://www.salafiyat.com/)</li>
<li><a href="http://www.al-barq.net/" target="_top">Muntadiyat al-Barq</a> (http://www.al-barq.net/)</li>
</ul><b>WEB PARA ULAMA </b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://www.ibnbadawy.com/" target="_blank">Abdul Azhim Badawi</a> (http://www.ibnbadawy.com/)</li>
<li><a href="http://www.sahab.ws/5600/news/3399.html" target="_blank">Abdul Aziz Alu Syaikh</a> (http://www.sahab.ws/5600/news/3399.html)</li>
<li><a href="http://www.sh-rajhi.com/rajhi/" target="_blank">Abdul Aziz ar-Rajihi</a> (http://www.sh-rajhi.com/rajhi/)</li>
<li><a href="http://islamancient.com/" target="_blank">Abdul Aziz ar-Rayyis</a> (http://islamancient.com/)</li>
<li><a href="http://www.ibnbaz.org.sa/" target="_top">Abdul Aziz bin Bazz</a> (http://www.ibnbaz.org.sa/)</li>
<li><a href="http://www.alburaie.com/new/index.php" target="_blank">Abdul Aziz Bura’i</a> (http://www.alburaie.com/new/index.php)</li>
<li><a href="http://www.alabad.jeeran.com/" target="_blank">Abdul Muhsin Abbad</a> (http://www.alabad.jeeran.com/)</li>
<li><a href="http://www.obaykan.com/" target="_blank">Abdul Muhsin Ubaikan</a> (http://www.obaykan.com/)</li>
<li><a href="http://www.alarnaut.com/" target="_blank">Abdul Qadir al-Arnauth</a> (http://www.alarnaut.com/)</li>
<li><a href="http://www.alfuzan.islamlight.net/" target="_blank">Abdullah al-Fauzan</a> (http://www.alfuzan.islamlight.net/)</li>
<li><a href="http://www.sahab.ws/6111" target="_blank">Abdullah azh-Zhafiri</a> (http://www.sahab.ws/6111)</li>
<li><a href="http://www.ibn-jebreen.com/" target="_blank">Abdullah Jibrin</a> (http://www.ibn-jebreen.com/)</li>
<li><a href="http://www.afifyy.com/" target="_blank">Abdur Razaq Afifi</a> (http://www.afifyy.com/)</li>
<li><a href="http://www.burjes.com/" target="_blank">Abdus Salam Barjas</a> (http://www.burjes.com/)</li>
<li><a href="http://www.ferkous.com/rep/index.php" target="_blank">Abu Abdil Muiz Firkuz</a> (http://www.ferkous.com/rep/index.php)</li>
<li><a href="http://www.abouassim.net/" target="_blank">Abu Ashim al-Ghomidi</a> (http://www.abouassim.net/)</li>
<li><a href="http://www.abu-bkr.com/" target="_blank">Abu Bakr al-Mishri</a> (http://www.abu-bkr.com/)</li>
<li><a href="http://www.abuislam.net/" target="_blank">Abu Islam Shalih Thaha</a> (http://www.abuislam.net/)</li>
<li><a href="http://abumalik.net/" target="_blank">Abu Malik al-Juhanni</a> (http://abumalik.net/)</li>
<li><a href="http://www.otiby.net/" target="_blank">Abu Umar al-Utaibi</a> (http://www.otiby.net/)</li>
<li><a href="http://njza.net/web/" target="_blank">Ahmad Yahya Najmi</a> (http://njza.net/web/)</li>
<li><a href="http://www.alhalaby.com/" target="_blank">Ali Hasan al-Halabi</a> (http://www.alhalaby.com/)</li>
<li><a href="http://www.albaidha.net/vb/" target="_blank">Ali Ridha</a> (http://www.albaidha.net/vb/)</li>
<li><a href="http://www.haddady.com/" target="_blank">Ali Yahya al-Haddadi</a> (http://www.haddady.com/)</li>
<li><a href="http://www.dorar.net/" target="_blank">Alwi as-Saqqof</a> (http://www.dorar.net/)</li>
<li><a href="http://www.aqsasalafi.com/" target="_blank">Hisyam al-Arifi</a> (http://www.aqsasalafi.com/)</li>
<li><a href="http://www.ajurry.com/" target="_blank">Imam al-Ajurri</a> (http://www.ajurry.com/)</li>
<li><a href="http://www.almosleh.com/index.shtml" target="_blank">Kholid al-Mushlih</a> (http://www.almosleh.com/index.shtml)</li>
<li><a href="http://www.alifta.com/default.aspx" target="_blank">Lajnah Daimah</a> (http://www.alifta.com/default.aspx)</li>
<li><a href="http://www.m-ismail.com/" target="_blank">M Ismail Muqoddam</a> (http://www.m-ismail.com/)</li>
<li><a href="http://www.sh-emam.com/" target="_blank">M. Abdillah al-Imam</a> (http://www.sh-emam.com/)</li>
<li><a href="http://www.al-athary.net/" target="_blank">M. al-Hamud an-Najdi</a> (http://www.al-athary.net/)</li>
<li><a href="http://www.aljami.net/" target="_blank">M. Aman al-Jami</a> (http://www.aljami.net/)</li>
<li><a href="http://toislam.net/" target="_blank">M. Ibrahim al-Hamd</a> (http://toislam.net/)</li>
<li><a href="http://www.mediu.org/" target="_blank">M. Khalifah Tamimi</a> (http://www.mediu.org/)</li>
<li><a href="http://www.magdiarafat.com/" target="_blank">Majdi Arafat</a> (http://www.magdiarafat.com/)</li>
<li><a href="http://www.marsed.org/" target="_blank">Masyaikh Sudan</a> (http://www.marsed.org/)</li>
<li><a href="http://www.mashhoor.net/" target="_blank">Masyhur Hasan Salman</a> (http://www.mashhoor.net/)</li>
<li><a href="http://maghrawi.net/" target="_blank">Muhammad Al-Maghrawi</a> (http://maghrawi.net/)</li>
<li><a href="http://www.ibnothaimeen.com/" target="_blank">Muhammad al-Utsaimin</a> (http://www.ibnothaimeen.com/)</li>
<li><a href="http://www.m-alnaser.com/" target="_blank">Muhammad Musa Nashr</a> (http://www.m-alnaser.com/)</li>
<li><a href="http://www.rslan.com/" target="_blank">Muhammad Said Ruslan</a> (http://www.rslan.com/)</li>
<li><a href="http://www.muqbel.net/" target="_blank">Muqbil bin Hadi</a> (http://www.muqbel.net/)</li>
<li><a href="http://aladawy.info/" target="_blank">Musthofa al-Adawi</a> (http://aladawy.info/)</li>
<li><a href="http://albarrak.islamlight.net/" target="_blank">Nashir al-Barrak</a> (http://albarrak.islamlight.net/)</li>
<li><a href="http://www.alalbany.net/" target="_blank">Nashirudin al-Albani</a> (http://www.alalbany.net/)</li>
<li><a href="http://www.rabee.net/" target="_blank">Robi’ al-Madkholi</a> (http://www.rabee.net/)</li>
<li><a href="http://www.saad-alhusayen.com/" target="_blank">Sa’ad al-Hushayin</a> (http://www.saad-alhusayen.com/)</li>
<li><a href="http://www.al-fath.net/" target="_blank">Said Abdul Azhim</a> (http://www.al-fath.net/)</li>
<li><a href="http://sahab.ws/3250" target="_blank">Salim al-Ajmi</a> (http://sahab.ws/3250)</li>
<li><a href="http://islamfuture.net/" target="_blank">Salim Ied al-Hilali</a> (http://islamfuture.net/)</li>
<li><a href="http://www.alfawzan.ws/alfawzan/default.aspx" target="_blank">Shalih al-Fauzan</a> (http://www.alfawzan.ws/alfawzan/default.aspx)</li>
<li><a href="http://www.assuhaimi.com/" target="_blank">Shalih as-Suhaimi</a> (http://www.assuhaimi.com/)</li>
<li><a href="http://sahab.ws/4435" target="_blank">Shalih Sa’ad as-Suhaimi</a> (http://sahab.ws/4435)</li>
<li><a href="http://www.sahab.ws/3147" target="_blank">Sulthan al-Ied</a> (http://www.sahab.ws/3147)</li>
<li><a href="http://www.alhilali.net/" target="_blank">Taqiyudin al-Hilali</a> (http://www.alhilali.net/)</li>
<li><a href="http://www.olamayemen.com/html/" target="_blank">Ulama Yaman</a> (http://www.olamayemen.com/html/)</li>
<li><a href="http://www.waheedbaly.com/" target="_blank">Wahid Abd Salam Bali</a> (http://www.waheedbaly.com/)</li>
<li><a href="http://www.sh-yahia.net/" target="_blank">Yahya al-Hajuri</a> (http://www.sh-yahia.net/)</li>
</ul><b>WEB ILMIAH (BAHASA INGGRIS) </b><br />
<ul type="disc"><li><a href="http://www.islamlecture.com/" target="_blank">Abdur Ra’uf Shakir</a> (http://www.islamlecture.com/)</li>
<li><a href="http://www.ahlulhadeeth.net/php/" target="_blank">Ahlul Hadeeth</a> (http://www.ahlulhadeeth.net/php/)</li>
<li><a href="http://www.albaseerah.org/" target="_blank">Al Baseerah</a> (http://www.albaseerah.org/)</li>
<li><a href="http://al-ibaanah.com/" target="_blank">Al Ibanah (Ismail al-Arcoon)</a> (http://al-ibaanah.com/)</li>
<li><a href="http://www.almuflihoon.com/" target="_blank">Al-Muflihoon</a> (http://www.almuflihoon.com/)</li>
<li><a href="http://www.asaala.com/">Albani Center</a> (http://www.asaala.com/)</li>
<li><a href="http://calltoislam.com/" target="_blank">Call to Islam</a> (http://calltoislam.com/)</li>
<li><a href="http://www.darulehsaan.com/" target="_blank">Darul Ihsan</a> (http://www.darulehsaan.com/)</li>
<li><a href="http://www.dkh-islam.com/" target="_blank">Darul Kitab wal Hikmah</a> (http://www.dkh-islam.com/)</li>
<li><a href="http://bilalphilips.com/" target="_blank">DR. Bilal Philips</a> (http://bilalphilips.com/)</li>
<li><a href="http://www.understand-islam.net/" target="_blank">DR. Salih as-Saalih</a> (http://www.understand-islam.net/)</li>
<li><a href="http://www.fatwa-online.com/" target="_blank">Fatwa Online</a> (http://www.fatwa-online.com/)</li>
<li><a href="http://www.islamicknowledge.co.uk/" target="_blank">Islamic Knowledge</a> (http://www.islamicknowledge.co.uk/)</li>
<li><a href="http://www.islamlife.com/news.php" target="_blank">Jalal Abu Alrub</a> (http://www.islamlife.com/news.php)</li>
<li><a href="http://www.madeenah.com/" target="_blank">Madeenah</a> (http://www.madeenah.com/)</li>
<li><a href="http://www.examinethetruth.com/" target="_blank">Nadir Ahmad</a> (http://www.examinethetruth.com/)</li>
<li><a href="http://www.ryadussalihin.org/en/" target="_blank">Riyadhus Salihin</a> (http://www.ryadussalihin.org/en/)</li>
<li><a href="http://salafimanhaj.com/" target="_blank">Salafi Manhaj</a> (http://salafimanhaj.com/)</li>
<li><a href="http://ummjunayd.info/" target="_blank">Umm Junayd</a> (http://ummjunayd.info/)</li>
</ul>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-73457731601908397032011-08-12T16:59:00.000+07:002011-08-12T17:05:10.173+07:00Tinggalkan Pesan<form action="http://www.emailmeform.com/builder/form/Q7ubf5jO6a" enctype="multipart/form-data" id="emf-form" method="post" name="emf-form"><table bgcolor="transparent" border="0" cellpadding="2" cellspacing="0" style="text-align: left;"><tbody>
<tr> <td colspan="2"><br />
<span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: x-small;"><b style="font-size: 20px;">Tinggalkan Pesan...</b><br />
<br />
<br />
</span></td> </tr>
<tr valign="top"> <td align="" id="td_element_label_0"><br />
<span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: x-small;"><b>Nama</b></span> <span style="color: red;"><small>*</small></span></td> </tr>
<tr> <td id="td_element_field_0"><br />
<input class="validate[required]" id="element_0" name="element_0" size="30" type="text" value="" /><br />
<div style="color: black; padding-bottom: 8px;"></div></td> </tr>
<tr valign="top"> <td align="" id="td_element_label_1"><br />
<span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: x-small;"><b>Email</b></span> <span style="color: red;"><small>*</small></span></td> </tr>
<tr> <td id="td_element_field_1"><br />
<input class="validate[required,custom[email]]" id="element_1" name="element_1" size="30" type="text" value="" /><br />
<div style="color: black; padding-bottom: 8px;"></div></td> </tr>
<tr valign="top"> <td align="" id="td_element_label_2"><br />
<span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: x-small;"><b>Tema</b></span></td> </tr>
<tr> <td id="td_element_field_2"><br />
<input class="validate[optional]" id="element_2" name="element_2" size="30" type="text" value="" /><br />
<div style="color: black; padding-bottom: 8px;"></div></td> </tr>
<tr valign="top"> <td align="" id="td_element_label_3"><br />
<span style="color: black; font-family: Verdana; font-size: x-small;"><b>Pesan</b></span> <span style="color: red;"><small>*</small></span></td> </tr>
<tr> <td id="td_element_field_3"><br />
<textarea class="validate[required]" cols="50" id="element_3" name="element_3" rows="10"><br /> </textarea><br />
<div style="color: black; padding-bottom: 8px;"></div></td> </tr>
<tr> <td align="center" colspan="2"><br />
<input name="element_counts" type="hidden" value="4" /> <input name="embed" type="hidden" value="forms" /><input type="submit" value="Send email" /><input type="reset" value="Clear" /></td> </tr>
</tbody></table></form><div>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-18949146774561806552011-08-12T09:05:00.000+07:002011-08-12T09:05:42.681+07:00Syahadatain, Makna, Rukun, Syarat, Konsekuensi dan Hal-Hal Yang Membatalkannya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-NBxA40Xj5fc/TkI3aNH1ETI/AAAAAAAAAqg/58EnoJPHugI/s1600/mobile-wallpapers-islamic14.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://3.bp.blogspot.com/-NBxA40Xj5fc/TkI3aNH1ETI/AAAAAAAAAqg/58EnoJPHugI/s200/mobile-wallpapers-islamic14.jpg" width="200" /></a></div><div style="color: red;">MAKNA SYAHADATAIN</div><div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: blue;"><b>Makna Syahadat "<i>Laa ilaaha illallah</i>"</b></div>Yaitu beri'tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i>, menta'ati hal terse-but dan mengamalkannya. <i>La ilaaha</i> menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. <i>Illallah</i> adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Jadi <u>makna</u> kalimat ini secara ijmal (global) adalah, "<u>Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah</u>". Khabar "<i>Laa</i>" harus ditaqdirkan "<i>bi haqqi</i>" (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan "<i>maujud</i>" (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.<br />
<br />
Kalimat "<i>Laa ilaaha illallah</i>" <b>telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil</b>, antara lain:<br />
<br />
[1]. "<i>Laa ilaaha illallah</i>" artinya:<br />
"<i>Tidak ada sesembahan kecuali Allah</i>", Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.<br />
<br />
[2]. "<i>Laa ilaaha illallah</i>" artinya:<br />
"<i>Tidak ada pencipta selain Allah</i>" . Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.<br />
<br />
[3]. "<i>Laa ilaaha illallah</i>" artinya:<br />
"<i>Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah</i>". Ini juga sebagian dari makna kalimat " ". Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup<br />
<br />
Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti), tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) seperti tersebut di atas.<br />
<br />
<div style="color: blue;"><b>Makna Syahadat "<i>Anna Muhammadan Rasulullah</i>"</b></div>Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta'ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah<br />
Allah kecuali dengan apa yang disyari'atkan.<br />
<br />
<div style="color: red;">RUKUN SYAHADATAIN</div><div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: blue;"><b>Rukun "<i>Laa ilaaha illallah</i>"</b></div>Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun:<br />
<b>An-Nafyu atau peniadaan</b>: "<i>Laa ilaha</i>" membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.<br />
<br />
<b>Al-Itsbat (penetapan)</b>: "<i>illallah</i>" menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.<br />
<br />
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur'an, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala<br />
<br />
"Artinya : <i>Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada Allah, makasesungguhnya ia telah berpegang kepa-da buhul tali yang amat kuat ...</i>" [Al-Baqarah: 256]<br />
<br />
Firman Allah, "<i>siapa yang ingkar kepada thaghut</i>" itu adalah makna dari "<i>Laa ilaha</i>" rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, "<i>dan beriman kepada Allah</i>" adalah makna dari rukun kedua, "<i>illallah</i>". Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim alaihis salam :<br />
<br />
"Artinya : <i>Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku ...</i>". [Az-Zukhruf: 26-27]<br />
<br />
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , "<i>Sesungguhnya aku berlepas diri</i>" ini adalah makna <b>nafyu</b> (peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, "<i>Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku</i>", adalah makna <b>itsbat</b> (penetapan) pada rukun kedua.<br />
<br />
<div style="color: blue;"><b>Rukun Syahadat "<i>Muhammad Rasulullah</i>"</b></div>Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat "<i>'abduhu wa rasuluh</i> " hamba dan utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasulNya. Beliau adalah makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.<br />
<br />
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
"Artinya : <i>Katakanlah: 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, ...'.</i>" [Al-Kahfi : 110]<br />
<br />
Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan karenanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memujinya:<br />
<br />
"Artinya : <i>Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya.</i>" [Az-Zumar: 36]<br />
<br />
"Artinya : <i>Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) ...</i>"[Al-Kahfi: 1]<br />
<br />
"Artinya : <i>Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ...</i>" [Al-Isra': 1]<br />
<br />
Sedangkan rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).<br />
<br />
Persaksian untuk Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> dengan dua sifat ini meniadakan ifrath dan tafrith pada hak Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i>. Karena banyak orang yang mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain dari Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i>. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari selain Allah.<br />
<br />
Juga meminta kepada beliau apa yang tidak sanggup melakukannya selain Allah, seperti memenuhi hajat dan menghilangkan kesulitan. Tetapi di pihak lain sebagian orang mengingkari kerasulannya atau mengurangi haknya, sehingga ia bergantung kepada pendapat-pendapat yang menyalahi ajarannya, serta memaksakan diri dalam mena'wilkan hadits-hadits dan hukum-hukumnya.<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>SYARAT-SYARAT SYAHADATAIN</b></div><div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: blue;"><b>Syarat-syarat "<i>Laa ilaha illallah</i>"</b></div>Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Secara global tujuh syarat itu adalah:<br />
<br />
1. '<b>Ilmu</b>, yang menafikan jahl (kebodohan).<br />
2. <b>Yaqin</b> (yakin), yang menafikan syak (keraguan).<br />
3. <b>Qabul</b> (menerima), yang menafikan radd (penolakan).<br />
4. <b>Inqiyad</b> (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan).<br />
5. <b>Ikhlash</b>, yang menafikan syirik.<br />
6. <b>Shidq</b> (jujur), yang menafikan kadzib (dusta).<br />
7. <b>Mahabbah </b>(kecintaan), yang menafikan baghdha' (kebencian).<br />
<br />
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<b>Syarat Pertama: 'Ilmu (Mengetahui).</b><br />
Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.<br />
<br />
Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> berfirman:<br />
<br />
"Artinya :<i>... Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).</i> [Az-Zukhruf : 86]<br />
<br />
Maksudnya orang yang bersaksi dengan <i>laa ilaaha illallah,</i> dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.<br />
<br />
<b>Syarat Kedua: Yaqin (yakin).</b><br />
Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu.<br />
<br />
Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> berfirman:<br />
<br />
"Artinya : <i>Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu ...</i>" [Al-Hujurat : 15]<br />
<br />
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> bersabda:<br />
<br />
"Artinya : <i>Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada illah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.</i>" [HR. Al-Bukhari]<br />
<br />
Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.<br />
<br />
<b>Syarat Ketiga: Qabul (menerima).</b><br />
Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.<br />
<br />
Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta'ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:<br />
<br />
"Artinya : <i>Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?</i>" [Ash-Shafat: 35-36]<br />
<br />
Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan <i>laa ilaaha illallah</i>, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna <i>laa ilaaha illallah.</i><br />
<br />
<b>Syarat Keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat).</b><br />
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:<br />
<br />
"Artinya : <i>Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.</i>" [Luqman : 22<br />
<br />
<b>Al-'Urwatul-wutsqa</b> adalah <i>laa ilaaha illallah</i>. Dan makna <b>yuslim wajhahu</b> adalah <i>yanqadu (patuh, pasrah).</i><br />
<br />
<b>Syarat Kelima: Shidq (jujur).</b><br />
Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.<br />
<br />
Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> berfirman:<br />
<br />
"Artinya : <i>Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.</i>" [Al-Baqarah: 8-10]<br />
<br />
<b>Syarat Keenam: Ikhlas.</b><br />
Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya' atau sum'ah. Dalam hadits 'Itban, Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> bersabda:<br />
<br />
"Artinya : <i>Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah</i>." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]<br />
<br />
<b>Syarat Ketujuh: Mahabbah (Kecintaan).</b><br />
Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai<br />
orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya.<br />
<br />
Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> berfirman:<br />
<br />
"Artinya : <i>Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.</i>" [Al-Baqarah: 165]<br />
<br />
Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.<br />
<br />
<div style="color: blue;"><b>Syarat Syahadat "<i>Anna Muhammadan Rasulullah</i>"</b></div><b>1</b>. Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.<b>2</b>. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.<br />
<b>3</b>. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.<br />
<b>4</b>. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang gha-ib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang.<br />
<b>5</b>. Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh umat manusia.<br />
<b>6</b>. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>KONSKUENSI SYAHADATAIN</b></div><div style="color: red;"><br />
</div><div style="color: blue;"><b>Konsekuensi "<i>Laa ilaha illallah</i>"</b></div>Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala ma-cam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah . Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.<br />
<br />
Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya.<br />
Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid'ah. Mereka menolak para da'i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata.<br />
<br />
<div style="color: blue;"><b>Konsekuensi Syahadat "<i>Muhammad Rasulullah</i>"</b></div>Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid'ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SYAHADATAIN</b></div><div style="color: red;"><br />
</div><b>Yaitu hal-hal yang membatalkan Islam</b>, karena dua kalimat syahadat itulah yang membuat seseorang masuk dalam Islam. Mengucap-kan keduanya adalah pengakuan terhadap kandungannya dan konsisten mengamalkan konsekuensinya berupa segala macam syi'ar-syi'ar Islam. Jika ia menyalahi ketentuan ini, berarti ia telah membatalkan perjanjian yang telah diikrarkannya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.<br />
<br />
Yang membatalkan Islam itu banyak sekali. Para fuqaha' dalam kitab-kitab fiqih telah menulis bab khusus yang diberi judul "Bab Riddah (kemurtadan)". Dan yang terpenting adalah sepuluh hal, yaitu:<br />
<br />
<b>Syirik dalam beribadah kepada Allah.</b><br />
<br />
Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala </i>berfirman:<br />
<br />
"Artinya : <i>Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.</i>" [An-Nisa': 48]<br />
<br />
"Artinya :<i> ... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.</i>" [Al-Ma'idah: 72]<br />
<br />
Termasuk di dalamnya yaitu menyembelih karena selain Allah, misalnya untuk kuburan yang dikeramatkan atau untuk jin dan lain-lain.<br />
<br />
Orang yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara. Ia berdo'a kepada mereka, meminta syafa'at kepada mereka dan bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini kafir secara ijma'. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau mem-benarkan madzhab mereka, dia itu kafir.<br />
<br />
<b>Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain lebih baik dari hukum beliau</b>. Seperti orang-orang yang mengutamakan hukum para thaghut di atas hukum Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> , mengutamakan hukum atau perundang-undangan manusia di atas hukum Islam, maka dia kafir.<br />
<br />
<b>Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> sekali pun ia juga mengamalkannya, </b>maka ia kafir. Siapa yang menghina sesuatu dari agama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir.<br />
<br />
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> :<br />
<br />
"Artinya : <i>Katakanlah: 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman.</i>" [At-Taubah: 65-66]<br />
<br />
<b>Sihir</b>, di antaranya sharf dan 'athf (barangkali yang dimaksud adalah amalan yang bisa membuat suami benci kepada istrinya atau membuat wanita cinta kepadanya/pelet). Barangsiapa melakukan atau meridhainya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> :<br />
<br />
"Artinya :<i> ... sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se-orangpun sebelum mengatakan: 'Sesungguhnya kami hanya co-baan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir'.</i>"[Al-Baqarah: 102]<br />
<br />
<b>Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi umat Islam</b>. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br />
<br />
"Artinya : <i>Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.</i>" [Al-Ma'idah: 51]<br />
<br />
<b>Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari syari'at Nabi Muhammad </b><i><b>Shallallahu 'alaihi wa sallam</b> </i>, seperti halnya Nabi Hidhir boleh keluar dari syariat Nabi Musa <i>alaihis salam</i>, maka ia kafir. Sebagaimana yang diyakini oleh ghulat sufiyah (sufi yang berlebihan/ melampaui batas) bahwa mereka dapat mencapai suatu derajat atau tingkatan yang tidak membutuhkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> .<br />
<br />
<b>Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya</b>. Dalilnya adalah firman Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> :<br />
<br />
"Artinya : <i>Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.</i>" [As-Sajadah: 22]<br />
<br />
Syaikh Muhammad At-Tamimy berkata: "Tidak ada bedanya dalam hal yang membatalkan syahadat ini antara orang yang bercanda, yang serius (bersungguh-sungguh) maupun yang takut, kecuali orang yang dipaksa. Dan semuanya adalah bahaya yang paling besar serta yang paling sering terjadi. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dan mengkhawatirkan dirinya serta mohon perlindungan kepada Allah <i>Subhanahu wa Ta'ala</i> dari hal-hal yang bisa mendatangkan murka Allah dan siksaNya yang pedih."<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan<br />
<br />
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq]<br />
sumber: <span style="font-size: x-small;">http://almanhaj.or.id/content/2101/slash/0</span>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-36804203520732264702011-07-13T14:58:00.000+07:002011-07-13T14:58:11.647+07:00Utsman bin ‘Affan (Wafat 35 H)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-E_1uyLMDGKQ/Th1P9sKpZTI/AAAAAAAAAmw/dg3mmRvtjeM/s1600/pohon.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://2.bp.blogspot.com/-E_1uyLMDGKQ/Th1P9sKpZTI/AAAAAAAAAmw/dg3mmRvtjeM/s200/pohon.jpg" width="200" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affanbin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh.</span></span></div><a name='more'></a><br />
<span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Keutamaannya</strong></span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua putrinya.</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Perjalanan hidupnya</strong></span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.</span></span></div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Wafatnya</strong>Ia wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).</span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><span style="font-size: small;"> </span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: grey;">Diringkas dari Biografi Utsman bin affan dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al Nabawiyah.</span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: grey;">sumber:</span></span></div>http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/01/utsman-bin-%E2%80%98affan-wafat-35-h/Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-45653587763978291352011-07-13T14:53:00.000+07:002011-07-13T14:53:17.192+07:00Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H)<div class="storycontent" style="font-family: inherit;"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-KYcujc0D1Qs/Th1OxlZmndI/AAAAAAAAAms/rtMrMm03pAQ/s1600/sunset.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="149" src="http://3.bp.blogspot.com/-KYcujc0D1Qs/Th1OxlZmndI/AAAAAAAAAms/rtMrMm03pAQ/s200/sunset.jpg" width="200" /></a></div><span style="font-size: small;">Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Izzy bin Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay al-Quraisy al-‘Adawy. Terkadang dipanggil dengan Abu Hafash dan digelari dengan al-Faruq. Ibunya bernama Hantimah binti Hasyim bin al-Muqhirah al-Makhzumiyah.</span><br />
<a name='more'></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Awal Keislamanya.</b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40 (empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” <i>Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam</i>.”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khaththab ke dalam Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “ Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” <i>Wahai Umar, hendak kemana engkau?</i>,” maka Umar menjawab, “ <i>Aku hendak membunuh Muhammad</i>.” Selanjutnya orang tadi bertanya:” <i>Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad</i>”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lalu orang tadi berkata,” <i>Tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu</i>”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar berkata, “<i>barangkali keduanya benar telah berpindah agama</i>”,. Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya mengeluarkan darah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kemudian Umar berkata: “<i>Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku ingin membacanya</i>”, maka adiknya berkata.” <i>Kamu itu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci)</i>.”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci) kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut yaitu surat Thaha sampai ayat,” <b><i>Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhanselain Aku, maka sembahlah Aku dirikanlah Shalat untuk mengingatku</i></b>.” (Qs.Thaha:14). Setelah itu Umar berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap do’a yang dipanjatkan Nabi pada malam kamis menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdo’a “<i>Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam</i>.”. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lalu Umar berangkat menuju tempat Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata<i>,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya</i>”. Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar bin Khaththab, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suyuthi dalam “<i>Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin</i>”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Rasulullah memberikan gelar al-Faruq kepadanya, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya dia berkata,” <i>Aku telah bertanya kepada Aisyah, “ Siapakah yang memanggil Umar dengan nama al-Faruq?</i>”, maka Aisyah menjawab <i>“Rasulullah</i>”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:” <i>Sungguh telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari umatku niscaya ‘Umarlah orangnya</i>”. Hadist ini dishahihkan oleh Imam Hakim. Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi bersabda,” <i>Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin al-Khaththab orangnya</i>.”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dia berkata,” Nabi telah bersabda:”<i>Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar</i>”. Anaknya Umar (Abdullah) berkata,” <i>Apa yang pernah dikatakan oleh ayahku (Umar) tentang sesuatu maka kejadiannya seperti apa yang diperkirakan oleh ayahku</i>”.</span></div><span style="font-size: small;"><b>Keberaniannya</b></span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Riwayat dari Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan dari Ali, dia berkata,” <i>Aku tidak mengetahui seorangpun yang hijrah dengan sembunyi sembunyi kecuali Umar bi al-Khaththab melakukan dengan terang terangan</i>”. Dimana Umar seraya menyandang pedang dan busur anak panahnya di pundak lalu dia mendatangi Ka’bah dimana kaum Quraisy sedang berada di halamannya, lalu ia melakukan thawaf sebanyak 7 kali dan mengerjakan shalat 2 rakaat di maqam Ibrahim.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kemudian ia mendatangi perkumpulan mereka satu persatu dan berkata,” <i>Barang siapa orang yang ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di belakang lembah itu</i>”. Kesaksian tersebut menunjukan keberanian Umar bin Khaththab Radhiyallahu’Anhu.</span></div><span style="font-size: small;"><b>Wafatnya</b></span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H ia wafat, ia ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh beliau ditikam oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar ash Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="color: grey;">Disalin dari Biografi Umar Ibn Khaththab dalam Tahbaqat Ibn Sa’ad, Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin Imam Suyuthi</span></span></div></div><br />
sumber:<br />
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/27/%E2%80%98umar-bin-al-khaththab/Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-30879610119771360052011-07-13T14:41:00.000+07:002011-07-13T14:41:38.526+07:00Tauhid, Yang Pertama dan Utama<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-L71S1PKH_4c/Th1L9JQP7GI/AAAAAAAAAmo/Fpp1dcPvzYU/s1600/tauhid.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="124" src="http://4.bp.blogspot.com/-L71S1PKH_4c/Th1L9JQP7GI/AAAAAAAAAmo/Fpp1dcPvzYU/s200/tauhid.jpg" width="200" /></a></div><span style="color: #333333; font-family: inherit;">Tidak ada keraguan lagi bahwasanya tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi dalam Islam. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal Radhiyallah ‘anhu ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepadanya :</span><br />
<a name='more'></a><br />
<br />
( يا معاذ ، أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله ؟ ) قلت : الله ورسوله أعلم ؟ قال : ( حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا )<br />
<br />
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribada kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
<br />
Makna Tauhid adalah :<br />
<br />
Upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya. Tauhid merupakan agama setiap Rasul ‘alaihimus salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengutus mereka dengan membawa misi tauhid tersebut kepada setiap umat.<br />
<br />
Di antara keutamaan tauhid adalah:<br />
<br />
1. Tauhid merupakan pondasi utama dibangunnya segala amalan yang ada dalam agama ini.<br />
<br />
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersab :<br />
<br />
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وحَجِّ بَيْتِ اللهِ الحَرَام<br />
<br />
“Agama Islam dibangun di atas lima dasar : (1) Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan (5) berhaji ke Baitullah Al-Haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali di dalam Al Qur’an, sebagaimana lawan tauhid yaitu syirik yang merupakan larangan pertama kali di dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Al-Baqarah ayat 21-22 :<br />
<br />
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) [البقرة/21، 22]<br />
<br />
“Wahai sekalian manusia, ibadahilah oleh kalian Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. Yang telah menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengan air tersebut buah-buahan, sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)<br />
<br />
Dalam ayat ini terdapat perintah Allah “ibadahilah Rabb kalian” dan larangan Allah “janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah”.<br />
<br />
3. Tauhid merupakan poros utama dakwah seluruh para nabi dan rasul, sejak rasul yang pertama hingga penutup para rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :<br />
<br />
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]<br />
<br />
“dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (yang menyeru) agar kalian beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.” (An-Nahl: 36)<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:<br />
<br />
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ (25) [الأنبياء/25]<br />
<br />
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al Anbiya’: 25)<br />
<br />
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Begitu pula lawan tauhid, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />
<br />
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ [الإسراء/23]<br />
<br />
“Dan Rabbmu telah memutuskan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya ” (Al Isra’: 23)<br />
<br />
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:<br />
<br />
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا [النساء/36]<br />
<br />
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)<br />
<br />
Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik, Allah letakkan sebelum perintah-perintah lainnya. Menunjukkan bahwa perintah terbesar adalah Tauhid, dan larangan terbesar adalah syirik<br />
<br />
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seorang hamba ke dalam Al –Jannah (surga) dan terlindung dari An-Nar (neraka). Sebagaimana pula lawannya yaitu syirik merupakan sebab utama masuknya dan terjerumusnya seorang hamba ke dalam An Nar dan diharamkan dari Jannah Allah.<br />
<br />
Allah berfriman:<br />
<br />
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) [المائدة/72]<br />
<br />
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka Allah akan mengharamkan baginya Al Jannah dan tempat kembalinya adalah An-Nar dan tidak ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun.” (Al Ma’idah: 72)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ<br />
<br />
“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui (berilmu) bahwa tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk ke dalam Al Jannah.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda pula sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :<br />
<br />
من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة ، ومن لقيه يشرك به شيئا دخل النار<br />
<br />
“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apapun, dia akan masuk Al-Jannah dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan bebruat syirik kepada-Nya, dia akan masuk An Nar.” (HR. Muslim)<br />
<br />
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />
<br />
Allah berfirman:<br />
<br />
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (65) [الزمر/65]<br />
<br />
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan orang-orang (para nabi) sebelummu, bahwa jika kamu berbuat syirik, niscaya batallah segala amalanmu, dan pasti kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)<br />
<br />
Syirik merupakan sebab batal alias tertolaknya semua amalan. Maka lawan syirik, yaitu Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan.<br />
<br />
* * *<br />
<br />
Dari penjelasan tentang keutamaan tauhid di atas, maka sangatlah jelas bahwa risalah para rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini beribadah hanya kepada-Nya saja.<br />
<br />
Ini merupakan dakwah para Rasul sejak rasul yang pertama yaitu Nabi Nuh ‘alahis salam hingga rasul yang terakhir yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Para rasul tersebut tidak hanya menuntut dari manusia agar mengakui dan mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, akan tetapi para rasul tersebut juga menuntut dari umat manusia agar mereka mengakui dan mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan layak untuk diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hak peribadahan. Yakni mentauhidkan Allah dalam beribadah.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam sebagai suri tauladan yang baik bagi kita, memulai dakwah beliau dengan tauhid selama 13 tahun di Makkah dan mengingkari peribadahan kepada selain Allah, baik peribadahan kepada nabi, malaikat, wali, batu, pohon, dan sebagainya yang dilakukan oleh bangsa arab dan lainnya. Demikian pula setelah beliau hijrah, berdakwah di Madinah selama 10 tahun, beliau terus melanjutkan dakwah menuju kepada tauhid.<br />
<br />
Begitu pula ketika beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengutus para shahabatnya untuk mendakwahi umat manusia, beliau memerintahkan kepada mereka untuk awal pertama kali yang harus disampaikan adalah dakwah tauhid Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:<br />
<br />
فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله . وفي رواية- : إلى أن يوحدوا الله<br />
<br />
“Maka pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dan riwayat yang lain : dakwah agar mentauhidkan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma)<br />
<br />
Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban pertama dan utama untuk disampaikan kepada manusia, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang pertama dan utama untuk mereka. <br />
<br />
http://www.assalafy.org/mahad/?p=329<br />
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1518Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-31759137634176975072011-07-13T14:10:00.000+07:002011-07-13T14:10:44.808+07:00Seputar Talak<span style="font-size: large;"><b>Hukum dan Macam Talak</b></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-1fXrqnpMTas/Th1Dz1TU4qI/AAAAAAAAAmk/UAMc5B2CsUo/s1600/gelas.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://1.bp.blogspot.com/-1fXrqnpMTas/Th1Dz1TU4qI/AAAAAAAAAmk/UAMc5B2CsUo/s200/gelas.jpg" width="166" /></a></div><br />
<i>Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in</i>. <br />
Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang <i>blank</i> akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, kami berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. <i>Allahumma yassir wa a’in</i><i> (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini)</i><i>.</i><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="color: red;"><b>Pengertian Talak</b></span><br />
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق<b> </b><b> </b>“<i>ithlaq</i>”, yang berarti melepas atau meninggalkan.<br />
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn1">[1]</a><br />
<span style="color: red;"><b>Dalil Dibolehkannya Talak</b></span><br />
Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ</span></div>“<i>Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.</i>” (QS. Al Baqarah: 229)<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ</span></div>“<i>Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)</i>” (QS. Ath Tholaq: 1)<br />
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar <i>radhiyallahu ‘anhuma</i>, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Lalu ‘Umar bin Al Khottob <i>radhiyallahu ‘anhu</i> menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> lantas bersabda,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ</span></div>“<i>Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla</i>.”<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn2">[2]</a><br />
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘<i>Ibroh</i> juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn3">[3]</a><br />
<span style="color: red;"><b>Kritik Hadits</b></span><br />
Adapun hadits yang berbunyi,<br />
<div align="center"><span style="font-size: 14pt;">أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ</span></div>“<i>Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.</i>”<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn4">[4]</a> Dalam sanad hadits ini ada dua ‘<i>illah</i> (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai <i>dho’if</i>. Kesimpulannya, hadits ini adalah <b>hadits yang <i>dho’if</i></b>. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn5">[5]</a>, Syaikh Al Albani<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn6">[6]</a>, dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn7">[7]</a>.<br />
<span style="color: red;"><b>Hukum Talak</b></span><br />
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”<br />
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:<br />
<i>Pertama</i>, talak yang <i>haram</i> yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.<br />
<i>Kedua</i>, talak yang <i>makruh</i> yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.<br />
<i>Ketiga</i>, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).<br />
<i>Keempat</i>, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘<i>afifah </i>(menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.<br />
<i>Kelima</i>, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn8">[8]</a><br />
<span style="color: red;"><b>Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i</b></span><br />
Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu <i>talak sunni</i> dan <i>talak bid’i</i>.<br />
<i>Talak sunni</i> adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn9">[9]</a><br />
<i>Talak bid’i</i> adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftn10">[10]</a><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><b>Syarat Talak</b></span><br />
<br />
Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.<br />
<span style="color: red;"><b>Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak</b></span><br />
<span style="color: magenta;"><i>Pertama</i></span>: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.<br />
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.<br />
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ</span></div>“<i>Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.</i>”<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftn1">[11]</a><br />
Begitu pula Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ</span></div>“<i>Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....</i>” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.<br />
<span style="color: magenta;"><i>Kedua</i></span>: Yang mengucapkan talak telah baligh.<br />
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.<br />
Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).<br />
Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ</span></div>“<i>Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.</i>”<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftn2">[12]</a><br />
Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,<br />
<div align="center" dir="RTL"><span style="font-size: 14pt;">كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ</span></div>“<i>Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.</i>”<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftn3">[13]</a> Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).<br />
Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.<br />
<span style="color: magenta;"><i>Ketiga</i></span>: Yang melakukan talak adalah berakal.<br />
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><b>Mentalak Dalam Keadaan Mabuk </b></span><br />
<br />
<div align="JUSTIFY" lang="id-ID" style="margin-bottom: 0in;">Perlu diketahui bahwa orang yang mabuk itu ada dalam dua keadaan:</div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span style="color: red;"><span lang="id-ID"><strong>Pertama</strong></span></span><span lang="id-ID">, orang yang mabuk dalam keadaan </span><span lang="id-ID"><span style="text-decoration: underline;">tidak sengaja</span></span><span lang="id-ID">. Misalnya karena mengkonsumsi suatu makanan malah jadi mabuk padahal tidak disengaja untuk mabuk, lalu dalam keadaan seperti itu ia mentalak istrinya. Misal lainnya adalah seperti mabuk dalam keadaan dipaksa. </span>Kondisi <span lang="id-ID">seperti ini tidaklah jatuh talak berdasarkan </span><span lang="id-ID"><em>ijma’</em></span><span lang="id-ID"> (kesepakatan) para ulama.</span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span style="color: red;"><span lang="id-ID"><strong>Kedua</strong></span></span><span lang="id-ID">, orang yang mabuk dalam keadaan </span><span lang="id-ID"><span style="text-decoration: underline;">sengaja</span></span><span lang="id-ID">. Seperti seseorang yang meminum </span>mira<span lang="id-ID">s dalam keadaan tahu dan atas pilihannya sendiri, lalu dalam kondisi semacam itu ia mentalak istrinya. Hukum talak dalam kondisi kedua ini diperselisihkan oleh para ulama. </span><span lang="id-ID"><em>Jumhur</em></span><span lang="id-ID"> atau mayoritas ulama mengatakan bahwa talaknya itu jatuh. Sedangkan ulama lainnya seperti pendapat lama dari Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh Al Muzani (murid Imam Asy Syafi’i), pendapat Ath Thohawi (salah seorang ulama besar Hanafiyah) dan pendapat lain dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa talak dalam keadaan mabuk sama sekali tidaklah sah entah mabuknya disengaja ataukah tidak. Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah</span> sebagaimana perkataan yang akan kami nukil<span lang="id-ID">.</span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="id-ID">Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah yang menyatakan tidak sah</span><span lang="id-ID">nya talak dalam keadaan mabuk meski mabuknya dengan sengaja atas pilihan sendiri. Alasannya adalah sebagai berikut:</span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="id-ID"><strong>Pertama</strong></span><span lang="id-ID">, Allah </span><span lang="id-ID"><em>Ta’ala</em></span><span lang="id-ID"> berfirman,</span></div><div align="CENTER" dir="RTL" style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 14pt;"><span style="color: maroon;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ </span></span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">“<span lang="id-ID"><em>Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan</em></span><span lang="id-ID">.” (QS. An Nisa: 43). Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa perkataan orang yang mabuk tidak teranggap karena ia sendiri tidak mengetahui apa yang ia ucap. Shalat dan ibadahnya tidaklah sah karena saat itu ia tidak berakal. Begitu pula kita lebih pantas lagi katakan dalam hal akad seperti talak, yaitu talaknya tidak sah karena ia semisal orang yang tidur dan orang yang gila</span> (sama-sama tidak memiliki niat)<span lang="id-ID">.</span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="id-ID"><strong>Kedua</strong></span><span lang="id-ID">, Nabi </span><span lang="id-ID"><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em></span><span lang="id-ID">bersabda,</span></div><div align="CENTER" dir="RTL" style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 14pt;"><span style="color: maroon;">إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ</span></span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">“<span lang="id-ID"><em>Setiap amalan tergantung pada niatnya.</em></span><span lang="id-ID">” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907). Orang yang mabuk tentu saja tidak memiliki niat dan tidak memiliki maksud. Padahal berbagai macam akad (termasuk talak) disyaratkan dengan adanya niat.</span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="id-ID"><strong>Ketiga</strong></span><span lang="id-ID">, </span>r<span lang="id-ID">iwayat shahih dari ‘Utsman </span><span lang="id-ID"><em>radhiyallahu ’anhu</em></span><span lang="id-ID">, ia berkata, </span></div><div align="CENTER" dir="RTL" lang="id-ID" style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 14pt;"><span style="color: maroon;">كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقُ النَّشْوَانِ وَ طَلاَقُ المجْنُوْنَ</span></span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">“<span lang="id-ID">Setiap talak itu boleh (sah) selain talak yang dilakukan oleh orang yang mabuk atau orang yang gi</span><span lang="id-ID">la.” (HR. Sa’id bin Manshur 1112, ‘Abdur Rozaq 12308, </span><span lang="id-ID">Ibnu Abi Syaibah 5/39, Al Baihaqi 7/359. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini </span><span lang="id-ID"><em>shahih</em></span><span lang="id-ID">).</span> Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah <em>rahimahullah</em> berkata,</div><div align="CENTER" style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size: 14pt;"><span style="color: maroon;">وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْ الصَّحَابَةِ خِلَافُهُ فِيمَا أَعْلَمُ</span></span></div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">“Selama yang kami ketahui tidak didapati dari para sahabat yang menyelisihi perkataan ‘Utsman.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/102)</div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><strong>Keempat</strong>, riwayat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwasanya beliau didatangkan seseorang yang telah mentalak istrinya sedangkan ia dalam keadaan mabuk. Ia pun bersumpah pada Allah yang tidak ilah yang berhak disembah selain Dia bahwa ia benar-benar melakukan talak namun dalam keadaan tidak sadar. Ia bersumpah. Namun istrinya dikembalikan padanya. Dan laki-laki tersebut terkena hukuman had. (HR. Sa’id bin Manshur 1110 dan Ibnu Abi Syaibah 5/39. <span lang="id-ID">Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini </span><span lang="id-ID"><em>shahih</em></span>)</div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><strong>Kelima</strong>, Ibnu Taimiyah memberi penjelasan, “Orang yang mabuk sudah jelas bahwa ia memang bermaksiat ketika mabuk. Saat dalam keadaan mabuk, ia tidak mengetahui apa yang ia katakan. Jika ia tidak tahu ucapan yang ia keluarkan, maka tentu ia berkata tanpa niat. Padahal dalam hadits disebutkan, “<em>Sesungguhnya amalan tergantung pada niatnya</em>”. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang bisa gila karena mengkonsumsi sesuatu. Jika ia gila walaupun asalnya karena maksiat yang ia lakukan, maka tetap talaknya tidak sah. Begitu pula perkataan yang lain yang muncul darinya juga tidak sah. Jika setiap orang memperhatikan tujuan dan maksud syari’at, jelaslah baginya bahwa pendapat yang benar adalah yang menyatakan talak orang yang mabuk tidaklah sah. Pendapat yang menyatakan bahwa talak dari orang yang mabuk itu sah, bukanlah pendapat yang dibangun di atas argumen yang kuat. … Yang benar dalam hal ini, talak dalam keadaan mabuk itu tidaklah jatuh kecuali jika orang tersebut menyadari apa yang ia ucap. Sebagaimana pula shalat orang yang mabuk tidaklah sah. Jika shalatnya tidak sah, maka demikian pula dalam hal talak. Allah <em>Ta’ala</em> berfirman (yang artinya), “<em>Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan</em>”. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 33/103)</div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">Dari bahasan ringkas di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang yang mabuk dalam keadaan tidak sengaja atau bahkan sengaja, talaknya tidak sah karena saat mabuk tidak memiliki akal sehingga tidak ada niat.</div><div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><em>Wallahu a’lam</em>. Semoga Allah senantiasa memberikan kita ilmu yang bermanfaat. Dengan izin dan kemudahan dari Allah, pembahasan ini masih akan dilanjutkan pada risalah talak berikut, masih seputar syarat-syarat talak.</div><br />
<em>Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.</em><br />
<br />
<em>referensi:</em><br />
<div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;">Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.</div>Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah<br />
<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/">www.rumaysho.com</a><br />
<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref1">1]</a> Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346. <a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref2">[2]</a> HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref3">[3]</a> Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki, Dr. ‘Abdul Fattah Muhammad Al Halawi, Dar ‘Alam Al Kutub, 10/323<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref4">[4]</a> HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref5">[5]</a> Sunan Al Baihaqi, 7/322.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref6">[6]</a> Irwaul Gholil no. 2040<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref7">[7]</a> Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan pertama, 1409, 10-12.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref8">[8]</a> Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref9">[9]</a> Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa <em>talak sunni</em> adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3331-risalah-talak-1.html#_ftnref10">[10]</a> Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, hal. 13-14.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftnref1">[11]</a> HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih. <a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftnref2">[12]</a> HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.<br />
<a href="http://www.rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3367-risalah-talak-2-syarat-talak.html#_ftnref3">[13]</a> HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).<br />
<div align="JUSTIFY" style="margin-bottom: 0in;"><br />
</div>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-91417163012003939272011-07-12T14:34:00.000+07:002011-07-12T14:34:14.576+07:00Islamnya Ikrimah bin Abu Jahl<h2>Muqoddimah :</h2><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-lPbsddLWyFM/Thv4vOXAs2I/AAAAAAAAAl8/XySq6uIlcTk/s1600/cahaya.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-lPbsddLWyFM/Thv4vOXAs2I/AAAAAAAAAl8/XySq6uIlcTk/s1600/cahaya.jpeg" /></a></div>Pada bulan Romadhon tahun 8 H terjadi sebuah peristiwa agung yang sangat bersejarah dalam kehidupan Rosululloh dan umat islam. Peristiwa itu adalah <b>Fathu Makkah</b>, pembukaan kota mekah, yang sebelumnya di kuasai oleh orang-orang kafir musyrik menjadi wilayah kekuasaan islam. Sejak saat itulah tidak lagi disyariatkan hijroh dari mekkah ke madinah. Roslululoh bersabda :<br />
<blockquote><div style="text-align: center;"><b>لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ</b></div><div style="text-align: center;">“Tidak ada hijroh setelah fathu Makkah, namun yang ada adalah jihad dan niat.”</div><div style="text-align: center;">(HR. Bukhori Muslim)<br />
<a name='more'></a></div></blockquote><span id="more-234"></span><br />
Dengan dibukanya kota mekkah, bangsa Arab berbondong-bondong masuk kedalam agama islam,karena sebelumnya mereka masih menunggu, mereka mengatakan : jika Muhammad benar-benar seorang Nabi, pasti dia akan menguasai tanah kelahirannya. Alloh Ta’ala menggambarkan peristiwa itu dengan firman Nya :<br />
<blockquote><div style="text-align: center;"><b>إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)</b></div><div style="text-align: center;">“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1) Dan kamu lihat manusia masuk agama Allahdengan berbondong-bondong (2) maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu danmohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalahMaha Penerima tobat (3)</div><div style="text-align: center;">(QS. An nashr : 1-3)</div></blockquote>Namun disela-sela fragmen sejarah itu, terdapat beberapa kisah masyhur namun ternyata kurang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya menurut ulama’ hadits. Salah satunya adalah tentang kisah masuk islamnya Ikrimah bin abu Jahl. Dan inilah kisah tersebut :<br />
<h2>Al Kisah :</h2>Dari <b>Abdulloh bin Zubair</b> berkata: “Saat fathu Makkah, Ikrimah melarikan diri, namun istrinya yang bernama Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam adalah seorang yang cerdik, dia masuk islam lalu meminta kepada Rosululloh jaminan keamanan untuk suaminya, maka Rosululloh memerintahkanya agar mengembalikan suaminya, lalu diapun keluar mencari suaminya. Setelah ketemu, dia berkata kepada suaminya : “Saya datang kepadamu dari seseorang yang paling bisa menyambung hubungan antara sesama serta dari orang yang paling baik, saya telah meminta jaminan keamanaan kepadanya untukmu dan dia memberikannya..” Maka Ikrimah pun kembali bersamanya, maka tatkala dia sudah dekat Mekkah, maka Rosululloh bersabda:<br />
<blockquote><div style="text-align: center;"><b>يَأْتِيْكُمْ عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِيْ جَهْلٍ مُؤْمِنًا مُهَاجِرًا ، فَلَا تَسُبُّوْا أَبَاهُ ، فَإِنَّ سَبَّ الْمَيِّتِ يُؤْذِي الْحَيَّ ، وَلَا يَبْلُغُ الْمَيِّتَ</b></div><div style="text-align: center;">“ Akan datang pada pada kalian Ikrimah bin Abu Jahl dalam keadaan mu’min muhajir(orang yang hijroh), maka janganlah kalian mencela bapaknya, karena mencela orang yang telah meninggal dunia akan menyakiti yang masih hidup dan tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia.” Maka tatkala dia sudah berada di pintu, maka Rosululloh bergembira dan segera bangkit untuk menyambutnya.”</div></blockquote><h2>Derajat kisah :</h2>Kisah ini palsu, sebagaimana dikatakan oleh <b>Syaikh al Albani</b> dalam Adh Dho’ifah ; 6234<br />
<h2>Takhrij kisah :</h2>Diriwayatkan oleh <b>Al Waqidi</b> dalam Al Maghozi 2/850, <b>Hakim</b> dalam Al Mustadrok 3/241, <b>Baihaqi</b> dalam al Madkhol 398/710 <b>Ibnu Asakir</b> dalam Tarikh Dimasyq 11/755 dari <b>Waqidi</b> berkata telah menceritakan kepadaku <b>Ibnu Abi Sabroh</b> dari <b>Musa bin Uqbah</b> dari <b>Abu Habibah</b> dari <b>Abdulloh bin Zubair</b><br />
<h2>Sebab kelemahan kisah ini :</h2>Kelemahan kisah ini disebabkan dua hal :<br />
<b>Pertama : Al Waqidi</b><br />
<ul><li><b>Al Hafizh Ibnu Hajar</b> dalam lisanul Mizan berkata : Al Waqidi adalah <b>Muhammad bin Umar bin Waqid Al Aslami Abu Abdilah Al Madani</b>, salah satu tokoh dan qodhi Iraq. Dia seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya) meskipun ilmunya luas.</li>
<li>Dia didustakan oleh <b>Imam Ahmad</b>.</li>
<li><b>Yahya bin Ma’in</b> berkata : Dia tidak ada apa-apanya.</li>
<li><b>Ali bin Madini</b> berkata : Al Waqidi memalsukan hadits.</li>
(Al Majruhin Ibnu Hibban 2/290)</ul><b>Kedua : Ibnu Abi Sabroh</b><br />
Dia adalah <b>Abu Bakr bin Abdulloh bin Muhammad bin Abu Sabroh</b> dari penduduk Madinah.<br />
<ul><li><b>Yahya bin Ma’in</b> berkata : Dia tidak ada apa-apanya.</li>
<li><b>Imam Ahmad</b> mendustakannya.</li>
<li><b>An Nasa’i</b> berkata : Dia matruk.</li>
<li>Dia juga dilemahkan oleh <b>Imam Bukhori</b> serta lainnya.</li>
(Lihat Al Majruhin 3/147, Mizanul I’tidal 4/503)</ul><b>Syaikh Al Albani</b> berkata:<br />
<blockquote><div style="text-align: center;">“Hadits ini didiamkan oleh Hakim, Dzahabi dan Baihaqi, hal ini dalam persangkaanku adalah karena nampak kelemahan bahkan kepalsuannya, karena al Waqidi sendiri adalah seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya) dan gurunya Ibnu Abi Sabroh dituduh oleh para ulama’ sebagai pemalsu hadits.”</div><div style="text-align: center;">(Lihat Adh Dho’ifah: 6234, 1443)</div></blockquote><h2>Siapakah Ikrimah bin Abu Jahl</h2>Beliau bernama <b>Ikrimah bin Amr bin hisyam </b>(amr bin Hisyam ini adalah Abu Jahl)<b> bin Mughiroh Al Qurosyi al Makhzumi</b>.<br />
Sebagaimana bapaknya, Ikrimah dulunya adalah seorang yang sangat memusuhi islam. Namun beliau masuk islam saat Fathu Makkah kemudian hijroh ke kota madinah dan ikut andil dalam memerangi orang-orang yang murtad sepeninggal Rosululloh. Beliau wafat dalam salah satu peperangan, hanya saja para ulama’ berselisih akan peperangan tersebut, sebagian mengatakan perang Yarmuk pada zaman kekhilafahan Umar bin Khothob, sebagian ulama’ lainnya berpendapat beliau wafat pada zaman Abu Bakr.<br />
Adapun riwayat yang shohih tentang keislaman Ikrimah adalah apa yang diriwayatkan oleh <b>An Nasa’i</b> dengan sanad shohih sebagaimana dikatakan oleh <b>Syaikh al Albani</b> dalam shohih wa dhoif Nasa’i :4067 adalah sebagai berikut :<br />
Dari <b>Mush’ab bin Sa’d</b> dari bapaknya berkata :<br />
<blockquote><div style="text-align: center;">“Saat fathu makkah, Rosululloh memberikan keamanan kepada manusia kecuali empat laki-laki dan dua wanita, beliau bersabda : Bunuhlah mereka meskipun kalian temukan mereka sedang berpegangan pada kain ka’bah. Mereka adalah Ikrimah bin Abu Jahl, Abdulloh bin Khothl, Maqis bin Shobabah dan Abdulloh bin Sa’d bin Abis Sarh. Adapun Abdulloh bin Khotl, dia ditemukan sedang berpegangan pada kain ka’bah, dia diserang oleh<b> </b>Sa’id bin Harits dan Ammar bin Yasir, hanya saja Sa’id lebih mendahului Ammar, sehingga dia lah yang membunuh Abdulloh bin Khothl. Sedangkan Maqis bin Shobabah, dia ditemukan berada di pasar, maka diapun dibunuh oleh banyak orang.</div><div style="text-align: center;">Adapun Ikrimah bin Abu Jahl, dia naik kapal di lautan, tiba-tiba datanglah badai, maka para awak kapal berkata : Ikhlaskanlah (do’a hanya kepada Allloh) karena tuhan-tuhan kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa disini.” Maka Ikrimah berkata : “Demi Alloh, jika tidak ada yang bisa menyelamatkanku di lautan ini kecuali keikhlasan (kepada Alloh), maka tidak akan ada yang bisa menyelamatkanku di daratan melainkan Dia. Ya alloh jika saya berjanji kepadamu, jika Engkau menyelamatkanku, saya akan datang kepada Muhammad, lalu saya akan meletakkan tanganku pada tangan beliau, dan niscaya saya akan dapati beliau sebagai seorang yang pemaaf lagi mulia.” Lalu Ikrimahpun dating dan masuk islam. Adapun Abdulloh bin Abis Sarh …………”</div><div style="text-align: center;">(HR. Nasa’I. Lihat pula ash shohihah 1723)</div></blockquote><br />
sumber: http://ahmadsabiq.com/2010/04/15/kisah-masuk-islamnya-ikrimah-bin-abu-jahl/Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-426760259403257105.post-36608936896143893032011-07-12T12:25:00.000+07:002011-07-12T13:32:40.101+07:00Adab Penuntut Ilmu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/--6E7Ndb6YC4/ThvqTVG5PvI/AAAAAAAAAl4/ee26kzUWHXc/s1600/ilmu.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="http://2.bp.blogspot.com/--6E7Ndb6YC4/ThvqTVG5PvI/AAAAAAAAAl4/ee26kzUWHXc/s200/ilmu.jpeg" width="200" /></a></div><div style="text-align: justify;">Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.<br />
<b>BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU</b><br />
<b>1.</b> Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.<br />
<b>2. </b>Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.<br />
<a name='more'></a><br />
<b>3.</b> Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.<br />
<b>4.</b> Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.<br />
<b>5.</b> Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)</div><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=426760259403257105&postID=3660893689614389303" name="more"></a><br />
<div style="text-align: justify;"><b>6. </b>Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>"Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”</i>. (QS. ash-Shaf: 2-3)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>7. </b>Merasa sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta mencontoh adab dan akhlak mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">al-Khalal meriwayatkan akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan dari al-A’masy rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>8. </b>Sopan santun dalam menuntut ilmu.</div><div style="text-align: justify;"><b>9. </b>Kontinyu (konsisten) untuk hadir dan tidak malas.</div><div style="text-align: justify;"><b>10.</b> Tidak berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah ta’âlâ :</div><div style="text-align: justify;"><i>"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”</i> (QS. an-Nahl: 78)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terlebih apabila kesulitan dalam mempelajari sesuatu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>11. </b>Membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>12.</b> Antusias untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.</div><div style="text-align: justify;"><b>13. </b>Berusaha melengkapi pelajaran yang terlewatkan.</div><div style="text-align: justify;"><b>14. </b>Mencatat faedah pada halaman depan atau buku catatan.</div><div style="text-align: justify;"><b>15. </b>Berusaha keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.</div><div style="text-align: justify;"><b>16.</b> Tatkala membeli buku hendaknya diperhatikan terlebih dahulu.</div><div style="text-align: justify;"><b>17.</b> Tidak melemparkan kitab ke tanah.</div><div style="text-align: justify;">Ada seseorang yang melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>18. </b>Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.</div><div style="text-align: justify;">Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ</span>؟</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (al-Fath, jilid 1, hlm. 171)</div><div style="text-align: justify;"><b><br />
19.</b> Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>20.</b> Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>21. </b>Membaca biografi para ulama.</div><div style="text-align: justify;"><b>22. </b>Membaca topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.</div><div style="text-align: justify;"><b>23.</b> Antusias untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih. Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail, dll.</div><div style="text-align: justify;"><b>24.</b> Memprioritaskan hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.</div><div style="text-align: justify;"><b>25.</b> Memulai dengan yang lebih penting.</div><div style="text-align: justify;">Sebagaimana petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa orang sahabatnya.</div><div style="text-align: justify;">Tatkala sampai di rumah ‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no. 425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)</div><div style="text-align: justify;"><b><br />
26.</b> Tidak sok pintar.</div><div style="text-align: justify;"><b>27.</b> Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebut-Nya.</div><div style="text-align: justify;"><b>28. </b>Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.</div><div style="text-align: justify;"><b>29. </b>Mengucapkan radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.</div><div style="text-align: justify;"><b>30. </b>Mengucapkan rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala menyebut mereka.</div><div style="text-align: justify;"><b>31.</b> Tidak menyandarkan sesuatu kepada maraji’ apapun kecuali apabila kita membaca berita itu darinya.</div><div style="text-align: justify;"><b>32.</b> Tidak menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>33.</b> Berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menyalin.</div><div style="text-align: justify;"><b>34.</b> Menyandarkan faedah kepada yang empunya.</div><div style="text-align: justify;"><b>35.</b> Tidak meremehkan faedah walaupun sedikit.</div><div style="text-align: justify;"><b>36.</b> Tidak menyembunyikan faedah.</div><div style="text-align: justify;"><b>37. </b>Tidak mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.</div><div style="text-align: justify;"><b>38.</b> Tidak mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.</div><div style="text-align: justify;"><b>39. </b>Tidak mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.</div><div style="text-align: justify;"><b>40. </b>Membawa buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam permasalahan.</div><div style="text-align: justify;"><b>41.</b> Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.</div><div style="text-align: justify;"><b>42.</b> Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>43.</b> Mengunjungi perpustakaan-perpustakaan untuk menelaah kitab-kitab yang ada.</div><div style="text-align: justify;"><b>44.</b> Menghindari keumuman istilah ilmiah yang mirip lafazhnya.[2]</div><div style="text-align: justify;"><b>45.</b> Antusias untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah-istilah penulis atau menjelaskan metode kitab dan bahasan-bahasannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>46.</b> Tidak terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>47.</b> Banyak membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.</div><div style="text-align: justify;"><b>48.</b> Tidak terburu-buru untuk menafikan secara umum.</div><div style="text-align: justify;"><b>49.</b> Apabila anda meriwayatkan hadits secara makna hendaknya anda jelaskan hal itu.</div><div style="text-align: justify;"><b>50.</b> Hindari penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><b>51.</b> Terimalah kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.</div><div style="text-align: justify;"><b>52. </b>Tidak sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>53. </b>Tidak menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh p, dll.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>54. </b>Tidak terpancing untuk keluar jauh dari fokus pembahasan.</div><div style="text-align: justify;"><b>55.</b> Tidak berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>56.</b> Tidak berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal jika pertanyaannya tidak dijawab.</div><div style="text-align: justify;"><b>57.</b> Tidak terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan penyair :</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;"><br />
قَ لَهُ فَكُنْ وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَكَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Apabila engkau diuji dengan orang yang tidak baik</div><div style="text-align: justify;">Maka bersikaplah seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>58.</b> Tidak berputus asa.</div><div style="text-align: justify;"><b>59.</b> Semangat dalam menjalankan shalat malam.</div><div style="text-align: justify;"><b>60.</b> Tidak banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.</div><div style="text-align: justify;"><b>61. </b>Secara khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:</div><div style="text-align: justify;"><b>a.</b> Memenuhi kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا</span>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berilah syafaat niscaya kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>b.</b> Menepati janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya etntang Nabi Ismail p:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)</div><div style="text-align: justify;"><b>c.</b> Bijaksana, sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:</div><div style="text-align: justify;"><i>"Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".</i> (QS. al-A’raf: 199)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">As-Sam’ani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah, tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar janji, sebagaimana disebutkan :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">إِذَا قُلْتَ فِي شَيْءٍ نَعَمْ فَأَتِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ</div><div style="text-align: justify;">وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Apabila anda telah mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah</div><div style="text-align: justify;">Karena ucapan ‘ya’ adalah hutang yang harus di lunasi</div><div style="text-align: justify;">Kalau tidak mampu katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah</div><div style="text-align: justify;">Supaya orang lain tidak mengatakan anda pendusta</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>d. </b>Tawadhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ</span>.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>e. </b>Gembira, lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.</div><div style="text-align: justify;"><b>f.</b> Mengajak bicara dan memberi nasihat kepada manusia.</div><div style="text-align: justify;">‘Ikrimah rahimahullahu mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>g.</b> Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ajaklah bicara manusia dengan apa yang mereka ketahui.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Disitu ada dalil, seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)<br />
<br />
Oleh : Majid bin Su’ud Alu ‘Usyin<br />
Penerjemah Fuad Hamzah, Lc</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/_Y3_YQhYBIjg/TJHj4hZm3uI/AAAAAAAAA6w/44t5vbCWzRo/s104/Border+Ornamen2.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/_Y3_YQhYBIjg/TJHj4hZm3uI/AAAAAAAAA6w/44t5vbCWzRo/s104/Border+Ornamen2.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">___________<br />
<b>FooteNote :</b><br />
<span style="color: #666666;">[1] Muttafaq ‘alaih.</span><br />
<span style="color: #666666;">[2] Seperti muttafaqun ‘alaih yang populer riwayat al-Bukhari & Muslim tapi muttafaqun alaih dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majiduddin Ibnu Taimiyah rah artinya riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.</span><br />
<br />
Sumber : <i style="color: #0b5394;"><span style="font-size: xx-small;">http://abunahsyal.blogspot.com/2010/08/adab-menuntut-ilmu.html</span></i></div>Novi Effendihttp://www.blogger.com/profile/06631822348518735638noreply@blogger.com0